Selasa, 26 Agustus 2008

Budidaya Sarang Walet Kawasan Karst Naga Umbang

May 14th, 2008 Oleh: T. Alfizar, SP

Gua yang ada Naga Umbang bernilai 600 juta setahun berpotensi meningkatkan PAD Aceh Besar terancam hancur oleh karena penambangan dan pabrik semen.Burung Walet merupakan burung pemakan serangga yang bersifat aerial dan suka meluncur. Burung ini berwarna gelap, terbangnya cepat dengan ukuran tubuh sedang/kecil, dan memiliki sayap berbentuk sabit yang sempit dan runcing, kakinya sangat kecil begitu juga paruhnya dan jenis burung ini tidak pernah hinggap di pohon. Burung walet mempunyai kebiasaan berdiam di gua-gua atau rumah-rumah yang cukup lembab, remang-remang sampai gelap dan menggunakan langit-langit untuk menempelkan sarang sebagai tempat beristirahat dan berbiak.

Budidaya walet adalah bertujuan untuk memanen sarang burung walet yang terbuat dari saliva atau air liur burung walet. Sarang burung walet menjadi populer setelah pada masa dinasti Tang (618-907)di china dijadikan sebagai makanan para raja. Selain sebagai makanan saranga burung walet yang kaya akan biopolymer ini dijadikan sebagai bahan obat-obatan untuk mengobati penyakit paru-paru, panas dalam, memperbaiki kerja syaraf, menjaga vitalitas bahkan sebagian mempercayai bahwa sarang burung walet dapat membuat awet muda. Pada masa-masa itu Kerajaan China sudah mengimport sarang burung walet dari Malaysia, Vietnam, Thailand dan Indonesia.
Desa Naga Umbang yang memiliki bentangan alam karst yang memulai budidaya sarang walet gua sejak tahun 1985, dan mulai diatur pengelolaannya kepada pihak swasta oleh Pemda Kabupaten Aceh Besar sejak 1995. Gua yang dikenal dengan nama gua uleue atau gua ular karena bentuknya berkelok-kelok seperti ular memiliki populasi burung walet jenis Sriti (Collocalia esculenta) dalam jumlah ribuan dimana pada akhir 90 an mampu memproduksi sarang walet sebanyak 400kg per masa pemanenan.
Klasifikasi burung walet adalah sebagai berikut:
Superorder : Apomorphae
Order : Apodiformes
Family : Apodidae
Sub Family : Apodenae
Tribes : Collacaliini
Genera : CollacaliaS
pecies : Collacalia fuciphaga, Collacalia esculenta

Desa Naga Umbang yang terletak di Kecamatan Lhoknga setiap tahunnya memberikan kontribusi bagi PAD Pemkab Aceh Besar melalui asset daerah mereka yaitu gua sarang walet. Pengelolaan sarang walet dilakukan setiap bulan oktober di kota Jantho, setelah melalui proses pelelangan dengan pembukaan harga 600 juta maka gua sarang walet akan dikelola oleh pemenang tender yang memberikan harga tertinggi. Bagi masyarakat local keberadaan gua sarang walet di desa Naga Umbang adalah sebagai sebuah lapangan pekerjaan, dimana pengelolaan sarang burung walet ini menyerap 24 orang tenaga kerja sebagai penjaga, dan 22 orang tenaga kerja pemanenan.
Burung walet merupakan satwa liar yang sangat sensitif dalam memilih lokasi membuat sarang dimana, hewan ini membutuhkan tempat bernaung dengan suhu 24-26 derajat celcius, serta kelembaban antara 85%-90 %, di daerah dataran rendah. Burung ini biasanya memilih lokasi bersarang di daerah gua di pesisir pantai, gua-gua di gunung dataran rendah, dan merupakan daerah yang jauh dari jangkauan manusia dengan kualitas lingkungan yang tinggi.

Lokasi gua sarang walet di desa Naga Umbang berjarak kurang lebih 1,5 km dari pemukiman penduduk pada ketinggian 150 Mdpl. Lokasi gua yang terletak di hutan adat, sangat jarang di akses oleh warga yang tidak memilki kepentingan. Otomatis merupakan tempat berbiak yang sangat baik bagi hewan yang sangat sensitive ini.
Selain tempat berbiak, burung walet membutuhkan air, dan lapangan luas yang mampu menyediakan suplai air untuk kelangsungan hidupnya, hewan ini memiliki kebiasaan minum setiap pagi dan sore. Fungsi hidrologi kawasan karst Naga Umbang yang menyuplai air ke permukaan melalui hulu sungai Krueng Raba merupakan komponen abiotik yang sangat berpengaruh terhadap terjaminnya lokasi hunian yang layak bagi burung walet. Ketersediaan serangga sebagai makanan bagi burung walet budidaya gua juga salah satu faktor yang sangat penting. Lahan pertanian dan perkebunan seluas 30 Ha menyuplai makanan setiap harinya bagi burung walet di desa Naga Umbang.
Budidaya walet gua dan rumahan memiliki perbedaan pada masa-masa pemeliharaan, dimana budidaya walet rumahan menuntut pemeliharaan yang lebih rumit dibandingkan budidaya walet gua. Budidaya walet rumahan menuntut pemiliknya untuk melakukan pemeliharaan ternak, yang dimulai dengan penetasan telur hingga pengawasan dan pemeliharaan kandang agar burung walet tetap menyukai lingkungan tempat tinggalnya. Sementara budidaya walet di gua sarang desa Naga Umbang hanya membutuhkan pengawasan yang dilakukan sepanjang masa pengelolaan. Pengawasan di gua sarang ini dilakukan oleh 24 orang yang terbagi dalam 3 kelompok, masing-masing kelompok bertugas menjaga selama 1 minggu dan akan digantikan kelompok berikutnya. Penjagaan hanya bersifat mencegah pencurian sarang walet oleh pihak asing, dan para penjaga gua sarang ini tidak diperkenankan untuk masuk ke dalam gua.
Hama dalam budidaya walet biasanya berasal dari hewan pemangsa baik, masih berupa telur maupun anakan walet. Hama ini dapat mengganggu populasi burung walet dan membuat burung walet tidak betah. Beberapa jenis hewan yang kerap menggangu antara lain tikus, cicak maupu tokek, ular dan semut yang biasanya mengganggu telur walet. Budidaya walet di rumahan membutuhkan perhatian yang sangat besar untuk menjaga hunian burung walet agar bebas dari hama tersebut, antara lain dengan membersihkan rumah walet dari tempat bersarangnya hama tersebut.
Hama tikus merupakan hama yang paling sering mengganggu dalam pengelolaan gua Sarang di desa Naga Umbang, dimana tikus-tikus tersebut memangsa anakan walet yang baru menetas. Tikus ini hanya memangsa anakan walet yang dapat di jangkaunya, dimana walet merupakan komunitas langit-langit gua. Pemberantasan hama tikus tidak perlu dilakukan karena interaksi di dalam sebuah ekosistem gua yang sangat besar. Ketidakseimbangan jaring dan rantai makanan dalam ekosistem gua berarti dapat merusak ekosistem gua secara keseluruhan, dimana gua adalah sebuah ekosistem yang sangat rentan.
Selain hama tikus, penurunanan kuantitas roduksi walet juga dipercaya akibat aktivitas manusia di sekitar kawasan. Beberapa aktivitas ini antara lain penebangan liar, penggunaan insektisida untuk lahan pertanian dan ladan serta penambangan batu kapur dan aktivitas pabrik semen. Aktivitas penebangan liar menyebabkan pembusukan akar, dari pohon yang ditebang. Pembusukan akar ini menyebabkan rembesan air melalui celah dinding dan atap gua semakin besar, yang akhirnya walet enggan untuk bersarang ditempat yang telah dialiri air tersebut. Ekses dari hal ini akan berakhir dengan terjadinya kompetisi intra spesies untuk memperebutkan tempat bersarang yang lebih baik, sehingga sebagian walet akan pindah mencari tempat bersarang di lokasi lain.
Penggunaan insektisida untuk lahan pertanian untuk mengendalikan hama pada lahan pertanian dapat menyebabkan ketidakseimbangan dalam piramida makanan pada kawasan eksokarst. Menurunnya ketersediaan sumber makanan bagi burung walet juga mengakibatkan kompetisi intra dan antar species, dan setiap kompetisi di alam harus ada pemenangnya.
Aktivitas penambangan dan eksploitasi alam oleh perusahaan semen secara umum dapat merusak struktur hidrologi pada kawasan karst. Kerusakan atau pengurangan kualitas pada tata air di kawasan karst dapat mengakibatkan pindahnya walet dari kawasan huniannya. Ketersediaan air bagi walet sangat penting dimana burung ini memiliki kebiasaan minum setiap pagi dan sore hari. Burung walet yang dibudidayakan di rumah, bahkan pembuatan kolam ini sangat dianjurkan agar burung ini betah untuk tinggal dan bersarang.
Pemanenan sarang burung walet dapat dilakukan dengan 2 metode yaitu: metode rampasan,dimana sarang walet dipanen setelah burung walet telah selesai membuat sarang dengan sempurna dan belum berisi telur. Metode kedua yang dapat digunakan adalah pemanenan dengan metode tetasan, dimana sarang walet dipanen setelah sarang walet telah selesai dibuat dengan sempurna dan telur yang terisi di sanga telah menetas dengan dan anakan walet mampu terbang dan mencari makan sendiri. Pemanenan dengan metode yang pertama sangat efektif untuk meningkatkan jumlah pemanenan, dimana panen bisa mencapai 4 kali dalam setahun. Pemanenan dengan metode pertama juga memiliki kekurangan, antara lain populasi burung walet akan menurun dengan cepat, karena kesempatan reproduksi walet yang rendah, serta kualitas sarang walet akan menurun menjadi tipis dan kecil, karena produksi air liur walet yang harus diimbangi dengan pemacuan waktu dalam pembuatan sarang.
Pemanenan dengan metode ke dua memiliki memiliki kelebihan antara lain burung walet akan mampu memproduksi sarang yang yang tebal dan besar, serta reproduksi walet tidak terganggu dan populas walet akan meningkat. Kelemahan pemanenan dengan metode ini adalah mutu sarang walet akan menjadi turun, karena sarang walet mulai rusak dan sangat kotor penuh dengan bulu walet dan anakannya.

Sesuai dengan SK menhutbun nomor 449 tahun 1999, pemanenan yang dilakukan d gua sarang di desa Naga Umbang dengan menggunakan metode pemanenan rampasan dan satu kali dalam setiap tahunnya dilakukan pemanenan dengan metode tetasan untuk menjaga populasi walet.
Kuantitas produksi sarang walet di gua sarang di desa Naga Umbang dilaporkan telah menyusut, dibandingkan 10 tahun yang lalu.Kuantitas produksi sarang walet pada saat itu mencapai 400 kg per masa panen, sedangkan pada tahun-tahun belakangan hanya dapat mencapai 100-200 kg setiap musim panen.
Pasca pemanenan oleh pihak pengelola, masyarakat di level lokal diberikan kesempatan selama 2 hari untuk memanen sisa-sisa sarang walet. Sisa sarang walet yang dipanen oleh warga akan menjadi milik mereka masing-masing. Hal ini harga dari sebuah kontribusi akan eksistensi sarang walet di desa mereka di Naga Umbang. Jumlah yang bisa dikumpulkan oleh masing- masing warga adalah kurang lebih 1 kg. Menurunnya populasi walet yang notabene menurunkan kuantitas produksi sarang walet dibanding 10 tahun silam, berbanding lurus dengan menurunnya jumlah warga yang ikut memanen selama 2 hari tersebut. Apabila 10 tahun silam jumlah produksi sarang walet mencapai 400kg per masa panen, jumlah warga yang ikut pada masa pasca panen mencapai 100 orang. Sedangkan pada musim panen yang lalu dilaporkan hanya 20 orang yang mencoba peruntungan mereka.
Berkurangnya kuantitas sarang walet, meningkatkan kesulitan pada masa pemanenan hal ini merupakan faktor penyebab terjadinya beberapa angka kecelakaan yang berakibat fatal maupun cacat permanen. Sesuai dengan kebijakan adat di Aceh Besar umumnya, begitu pula yang berlaku di desa Naga Umbang kecelakaan yang terjadi di Gua Sarang menjadi tanggung jawab pihak pengelola pada masa berjalan.
Pemasaran sarang walet ditingkat eksportir untuk sarang sriti , seperti yang ditemui di gua sarang di desa Naga Umbang dapat mencapai Rp.2,5 juta perkilogram sedangkan untuk sarang walet yang putih dapat mencapai 12 juta rupiah setiap kilogramnya. Setiap sarang walet yang akan diekspor dibagi berdasarkan kelas dan gradenya seperti bentuk, warna sarang, dan bahkan kadar airnya.
Sarang walet dari desa Naga Umbang setelah selesai dipanen biasanya langsung di jual ke tingkat eksportir di pulau Jawa. Pembesihan, setelah sarang selesai dipanen pun biasanya dilakukan di level eksportir.

Tidak ada komentar:

GRAND OPENING CHICKEN CRUSH VILLA MELATI MAS, SERPONG

Dengan mengucap syukur kepada Tuhan, pada tanggal 17 Oktober 2019 dilakukan pemberkatan tempat usaha resto Chicken Crush yang terletak di Ru...