Kamis, 31 Desember 2009

Saat Walet Bersarang di Dataran Tinggi

Oleh trubusid_admindb
Jumat, Januari 01, 2010 00:01:07

Pemandangan tak lazim terlihat di Desa Kopo, Kecamatan Kopo, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Ratusan sriti keluar-masuk dari lubang di lantai atas sebuah bangunan walet seluas 700 m2 di pinggir jalan raya menuju Puncak Pas. Di antara kumpulan sriti itu terlihat puluhan Collocalia fuciphaga. 'Dalam waktu 2 tahun sudah ada 100 sarang walet,' ujar Budiman, pengelola rumah itu.

Sebelum dikelola oleh Budi, rumah di ketinggian 700 m dpl itu sudah dihuni sriti. Namun, sampai berpindah tangan bangunan itu tak kunjung dimasuki walet. 'Di dataran tinggi seperti Puncak (di Bogor, Jawa Barat, red) mayoritas rumah walet dihuni sriti yang lebih tahan dingin. Di sana sriti berkembang dengan produksi sarang bagus karena banyak pohon pinus,' kata Hary K. Nugroho, praktikus walet di Jakarta Utara.

Berdasarkan pantauan Hary pembangunan rumah walet di sepanjang Puncak, Bogor, Jawa Barat, berlangsung sejak 1990-an. Namun, tak berkembang lantaran lingkungan makro tak mendukung. Daerah ini terlalu dingin dan sehari-hari diselimuti kabut sehingga mengganggu pandangan walet saat mencari pakan. Walet lebih memilih daerah lebih rendah yang agak panas seperti Cianjur dan Sukabumi. 'Produksi sarang walet di daerah itu hampir menyamai pantura yang akhir-akhir ini merosot hingga 50%,' ucap pemilik Eka Walet di Kelapagading, Jakarta Utara, itu.

Putar telur
Sukses budidaya walet di dataran tinggi sebetulnya bukan sesuatu yang baru. Pada 2003-an di Desa Panglejar, Cikalongwetan, Purwakarta, Jawa Barat, dengan ketinggian tempat 1.000 m dpl, Syafrian Ali berhasil mengelola rumah walet. Rumah berukuran 6 m x 8 m setinggi 2 lantai itu dihuni puluhan walet dengan jumlah sarang 20 buah. Kuncinya, Ali hanya memasang pemanas untuk mengatrol suhu malam yang terlalu rendah, 16oC.

Bahkan di rumah itu juga Ali berhasil membudidayakan walet layaknya beternak ayam. Ia meloloh piyik-piyik walet yang baru menetas dari mesin, hingga siap terbang umur 45 hari. Walet-walet yang dipelihara di jaring nilon tertutup itu tumbuh sehat sampai dewasa. Sayang, ketika ia mencoba meliarkan walet-walet ternakan itu, hanya 10% yang kembali ke rumah. Menurut Ali walet akan beradaptasi dengan lingkungan. 'Walet yang lahir dan dibesarkan di dataran tinggi, pasti akan tahan dingin,' ungkapnya.

Prinsip itu pula yang diterapkan Budi. Ia rajin menukar telur sriti dengan telur walet untuk menciptakan koloni walet yang bisa hidup di daerah dingin. Putar telur pertama ia lakukan dengan jumlah 1.000 butir. Setiap sarang berisi telur sriti diisi 2 telur walet. Telur sriti lalu dibuang. 'Keberhasilannya memang rendah, hanya 10% yang menetas. Sisanya telur dibuang oleh sriti yang curiga karena telur-telurnya berukuran lebih besar,' tutur Budi. Putar telur kedua - berselang 2 bulan - berujung sama: tidak ada peningkatan persentase penetasan.

Pada putar telur ketiga diduga induk sriti sudah familiar dengan telur walet, keberhasilan penetasan mencapai 50%. Dari piyik-piyik itulah komunitas walet terbentuk. Selang 5 - 6 bulan, sarang-sarang sriti mulai dilapisi liur walet. Itu artinya walet-walet muda telah mengisi sarang-sarang sriti. 'Sarang campuran sriti dan walet tidak kami jual, tapi dibuat larutan untuk disemprotkan ke lagur-lagur dan dinding rumah walet. Maksudnya dengan aroma yang ditimbulkan larutan itu, walet bisa betah tinggal di rumah,' ujar Budi.

Atur kelembapan
Menurut Budi selain putar telur, pengaturan iklim mikro mesti dilakukan, terutama suhu dan kelembapan. Dinding bangunan dari beton setebal 30 cm sengaja dibuat untuk menahan udara dingin dari luar. Harap mafhum walet menghendaki suhu 28 - 29oC dan kelembapan di atas 75%. Di sentra walet di dataran rendah, biasanya ketebalan tembok maksimal 20 cm. 'Tembok tebal membuat pelepasan panas juga lebih lama sehingga ruangan tetap hangat,' imbuh Budi.

Untuk menyiasati agar rumah walet memerangkap sinar matahari lebih banyak, dibuat 2 lubang keluar-masuk lebih besar masing-masing berukuran 1 m x 1 m serta menghadap ke timur dan barat. Lazimnya lubang rumah walet 14 cm x 60 cm dan menghadap utara atau selatan. Konsekuensinya Budi menambah kanopi di atas lubang masuk di bagian timur untuk meredam sinar matahari langsung yang bisa menyilaukan walet saat keluar rumah.

Lubang masuk yang besar sekaligus berfungsi untuk memperlancar sirkulasi udara. Kecuali itu, angin juga masuk melalui bagian samping atap berbentuk piggy back berukuran 10 m x 1 m terbuat dari plastik UV. Jadi Budi tidak membuat lubang angin di sekeliling dinding bangunan yang menjadi ciri khas rumah walet. 'Jika ditambahkan lubang angin, justru akan menurunkan kelembapan dan ujung-ujungnya sarang mudah patah karena terlalu kering,' kata ayah 2 anak itu.

Void atau lubang antarlantai pun dibuat besar, 8 m x 10 m, dan lurus supaya sinar matahari bisa tembus ke lantai paling bawah. Di bawah void terlihat kolam 8 m x 6 m x 40 cm, yang bisa sewaktu-waktu diisi air jika suhu dan kelembapan turun.

Budi yakin dalam 5 tahun ke depan rumah walet yang kini masih didominasi sriti itu akan berubah 180 derajat. 'Nanti paling tidak 99% penghuninya walet. Populasi sriti hanya sebagai pelengkap,' katanya. Toh harapan Budi bukan tanpa alasan. Di Puncak hampir tidak ada rumah walet lain sehingga kemungkinan walet kabur sangat kecil. Sementara ketersediaan pakan berlimpah karena vegetasi tanaman terjaga dengan baik: kebun teh dan sayur-sayuran terhampar luas di sekeliling rumah walet. (Lastioro Anmi Tambunan)

Rabu, 30 Desember 2009

Ada Gula Ada Semut

Beberapa hari ini saya memasang message "ADA GULA ADA SEMUT" di BB saya. Banyak rekan-rekan yang menanyakan ke saya, "lho koq Ada Gula Ada Semut?". Saya jawab, kalau semut rang-rang tidak doyan gula, doyannya daging!.

Pribahasa di atas sering kita dengar sejak kita masih kecil dan saya yakin kita mengerti apa yang dimaksudkan, sekedar untuk mengingatkan saja... pepatah atau pribahasa ini dapat diartikan bahwa apabila terdapat suatu sumber keuntungan maka ke sanalah arah tujuan bagi yang membutuhkan.

Makna dari pepatah ini sangat dalam, dengan pengertian sifat manusia selain sebagai makluk pribadi juga sebagai makluk sosial, yang tentu akan membutuhkan bantuan orang lain dan ada kalanya orang hanya memanfaatkan orang lain untuk mendapatkan keuntungan pribadi setelah mendapatkan keuntungan maka segeralah bergegas meninggalkannya. Ini banyak terjadi di kehidupan ini, di segala bidang, termasuk di dunia perwaletan. Dan sering kita dengar bahwa banyak rekan kita kehilangan teman gara-gara walet, kehilangan saudara gara-gara walet, tambah banyak musuh gara-gara walet, bahkan ada juga yang kehilangan orang tua gara-gara walet... kebangetan ya orang tua sendiri saja bisa dipecat jadi orang tua sama anaknya gara-gara walet... sinting dan gila memang tuh anak ... ---- sehingga berlakukah atau muncul pepatah "Habis Manis Sepah Dibuang" atau "Ada Uang Abang Disayang, Tak Ada Uang Abang Ditendang" atau "NO MONEY NO TALK"-----.

Kedua pepatah ini sering berkaitan. Dan nyatanya banyak terjadi di kalangan kita. Pada saat kita jaya, pada saat kita mempunyai jabatan, mempunyai kekuasaan, banyak orang yang setiap hari merubung kita, kemana saja kita pergi selalu dielu-elukan, dikuntit terus... kalau perlu pantat kitapun juga dijilat. Pokoknya hebat tenan.
Tapi apa yang terjadi, setelah rasa manis hilang dalam artian rekan-rekan tadi telah mendapatkan manfaat dari kita.. setelah kita tidak mempunyai kekuasaan, tidak ada lagi yang bisa diserap "Semut-semut" akan meninggalkan kita dan bahkan mencaci maki kita habis-habisan seenak udelnya tanpa pernah mengingat jasa baik orang yang pernah membantunya, dan pepatah ada Ubi Ada Talas tidak berlaku.
Inilah DUNIA. DUNIA ini memang panggung sandiwara, ceritanya mudah berubah.

Akankah kita berbuat demikian? Akankah tangan kita selalu menghadap ke atas? Dan apakah kita tergolong parasit?

Memasuki tahun 2010, tahun yang penuh tantangan, kita harus mandiri dan rasanya lebih terhormat bila tangan kita menghadap ke bawah.

SELAMAT TAHUN BARU 2010

Salam Sukses

Kamis, 03 Desember 2009

Earl of Cranbrook: Perkembangan Walet Indonesia Mengejutkan

Oleh trubusid_admindb
Selasa, Desember 01, 2009 16:23:46 Klik: 53


BENARKAH WALET SETIA? UNTUK MEMBUKTIKAN HAL ITU EARL OF CRANBROOK, MA , PHD, DSC BESERTA REKANNYA, DR LIM CHAN KOON MELAKUKAN PERCOBAAN SEDERHANA DI SEBUAH GUA DI BARAM, MALAYSIA, PADA 1997. PENELITI ASAL INGGRIS ITU MENGOLESKAN SETITIK CAT PUTIH SEBELUM SARANGNYA DIAMBIL. KEESOKAN HARI SETELAH SARANG DIPANEN WALET YANG SAMA BERADA DI TEMPAT SARANGNYA YANG LAMA.

Kesetiaan itu tak lepas dari kondisi mikro dan makro ideal di sekitar rumah walet seperti suhu, kelembapan, dan curah hujan sehingga walet betah tinggal. Kondisi mikro dan makro itu disesuaikan dengan keadaan gua-habitat asli walet.

Rumah walet menjamur sejak 1990-an, terutama di Pulau Jawa, sebab sarangnya bernilai ekonomi tinggi. Jenis yang banyak 'dirumahkan' adalah walet sarang putih Collocalia fuciphaga. Maklum harga jualnya mencapai Rp10-juta-Rp13-juta/kg. Jenis lain adalah sriti C. esulenta yang harga sarangnya berkisar Rp1-juta-Rp1,5-juta/kg.

Pembangunan rumah walet itu lalu merambah ke Sumatera dan Kalimantan. Namun, walet bukan monopoli Indonesia. Sejatinya ada 26 jenis walet menghuni wilayah Indopasifik dari Madagascar melalui Indo-Malaya, Filipina, Himalaya Timur, Hawaii, danKaledonia baru. Masing-masing terbagi dalam 3 kelompok: waterfall swift alias giant swiftlet (1 spesies dari keluarga Hydrocous), glossy swift (3 spesies dari Hydrochous), dan black-brown swiftlet (22 spesies dari jenis Aerodramus).

Sembilan di antaranya berada di subwilayah Sunda: H. gigas, C. esculenta, C. linchi, A. brevirostris, A. maximus, A. vulcanorum, A. salanganus, A. germani, dan A. fuciphagus atau Collocalia fuciphaga. Bagaimana pandangan Lord Cranbrook tentang walet terutama di Indonesia? Berikut petikan wawancara wartawan Trubus, Lastioro Anmi Tambunan, dengan penggiat lingkungan itu.

Menurut Anda bagaimana perkembangan walet di Indonesia?

Pembangunan rumah walet pertama kali tercatat di Pulau Jawa sekitar pertengahan abad ke-19. Selanjutnya berkembang ke Kalimantan khususnya Banjarmasin. Berikutnya marak di Pulau Sumatera. Yang mengejutkan populasi C. fuciphaga kini ditemukan di Sulawesi. Misal di Polewalimandar, Sulawesi Barat, yang ditulis di majalah Anda (Trubus edisi Oktober 2009, red). Padahal Sulawesi bukan daerah lintasan C. fuciphaga. Pulau itu mayoritas dihuni C. esculenta.

Bagaimana hal itu dapat terjadi?

Berdasarkan pengamatan teman saya, Boedi Mranata (pemain walet senior Indonesia, red), burung-burung itu bermigrasi dari Kalimantan karena terjadi kebakaran hutan besar di sana. Kemungkinan lain, walet bermigrasi dari Pulau Jawa yang populasinya mulai jenuh.

Negara mana yang juga mengembangkan rumah walet?

Malaysia salah satu yang demam membangun rumah walet. Di Penang, Malaysia, rumah walet di atas ruko pertama kali dicatat pada 1947. Pada 1950-an terlihat di rumah tradisional di Taiping. Berikutnya di Terengganu sebelum 1974. Selain Malaysia, pembangunan rumah walet mulai marak di Vietnam sejak 1970-an. Bahkan di Thailand Selatan berdiri kondominium walet yang menjadi salah satu tempat wisata. Namun, jumlahnya lebih kecil ketimbang Indonesia. Karena itu wajar Indonesia menjadi eksportir terbesar sarang khususnya sarang walet putih.

Selain C. fuciphaga, spesies apa yang menghasilkan sarang untuk konsumsi dan bernilai jual tinggi?

Ada 3 spesies lain, yakni Aerodramus maximus, A. germani, dan A. linchi. Ketiganya tersebar di Indopasifik. A. germani yang bersarang putih, misalnya, banyak ditemukan di Pulau Condore, Vietnam. Selain itu di kepulauan pantai Thailand, Myanmar, dan Filipina.

Seorang peternak di Mojokerto, Jawa Timur, berhasil menernakkan walet dari telur hingga dewasa di dalam rumah. Selama itu walet tidak keluar untuk mencari pakan karena disediakan di dalam rumah. Bagaimana pendapat Anda tentang hal tersebut?

Hal itu dapat dilakukan. Namun, butuh lahan luas dan ketersediaan pakan yang besar. Yang terpenting walet-walet hasil tangkaran itu mampu menghasilkan sarang berkualitas baik. Menurut saya masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut soal itu.

Bila pakan mesti disediakan, serangga jenis apa yang lazim dikonsumsi walet?

Walet termasuk pemilih. Ia hanya mengkonsumsi serangga tertentu. Lazimnya serangga itu berasal dari keluarga Arthropoda. Collocalia esculenta cyanoptila, misalnya, menyukai Chalicidoide, Brachycera, Formicoidea, Homoptera, Coleoptera, dan Nematocera. Pencarian pakan di alam biasanya dimulai pagi dan walet kembali ke rumah sore harinya. Jumlah pakan melimpah terutama saat musim hujan. Saat itu walet tidak perlu jauh mencari pakan sehingga bobot sarang yang dihasilkan maksimal, yakni 5-10 g. Jumlah itu 50-80% dari bobot tubuhnya.

Apakah ada pengaruh pemasangan speaker dan tweeter untuk memancing walet masuk ke rumah?

Setiap rumah walet saat ini menggunakan bunyi-bunyian untuk mengundang walet. Sejatinya walet hidup berkoloni. Mereka tertarik masuk saat mendengar suara teman-temannya di dalam rumah. Berdasarkan penelitian Sonografi pada 1958, setiap 2 detik A. maximus mengeluarkan suara berkekuatan 5-20 Khz.

Berdasarkan penelitian Anda apakah walet sarang putih penghuni gua sama dengan walet rumahan?

Belum ada bukti koloni walet rumahan ditemukan juga dalam gua. Sebuah penelitian di Malaysia menyebutkan adanya perbedaan genetik antara A. fuciphagus vestitus rumahan dengan gua. Tingkah laku walet rumahan juga berbeda. Mereka mencari rumah bangunan walet untuk bersarang, bukan gua. Karena itu walet rumahan dapat dikatakan sebagai Aerodramus 'domesticus'.

Sejatinya betina menghasilkan maksimal 2 telur per musim kawin. Mengapa dalam sebuah sarang kerap ditemukan 3 telur?

Kemungkinan itu karena ada betina yang salah meletakkan telurnya. Bila pun betina memproduksi 3 telur tapi yang tumbuh dewasa hanya 2 ekor. Yang seekor mati karena tubuhnya lemah.

Apa yang harus dilakukan untuk memajukan perwaletan?

Industri sarang walet semakin meningkat dengan harga jual sarang yang tinggi. Sayangnya belum ada sekolah khusus yang mendalami perwaletan. Padahal penelitian berperan penting untuk mengetahui keragaman, suara, dan aktivitas pembuatan liur terhadap waktu pijah. Sementara riset genetik dapat menghasilkan walet berkarakter sesuai dengan yang diinginkan peternak. Dengan memahami aturan garis keturunan kita dapat membuat walet resisten secara genetik terhadap suatu penyakit sehingga berdampak positif pada perekonomian. ***

Rabu, 11 November 2009

Mini Bazooka PIRO SLR 800



Mini Bazooka PIRO SLR 800 telah saya gunakan di beberapa Rumah Burung Walet (RBW) yang saya tangani dan saya gunakan di RBW saya sendiri.

Penempatan mini bazooka SLR 800 yang tepat dan arah yang tepat serta menggunakan suara tarik (internal pulling sound) yang baik dan memadai dapat mempercepat burung walet masuk ke nesting rooom sampai lantai terbawah.

Penggunaan mini bazooka di void atau Lubang Antar Lantai (LAL) dan Lubang Antar Ruangan (LAR) sangat dianjurkan unruk menarik burung walet yang berada di roving room untuk segera memasuki nesting room atau menuju lantai di bawahnya.

Anda juga bisa membuat mini bazooka ini sendiri, namun bila anda tidak mempunyai waktu untuk membuatnya sendiri atau tidak tahu bagaimana membuatnya, dan bila anda seorang yang berkonsep praktis serta membutuhkan MINI BAZOOKA SLR 800... silakan hubungi +6281932346435; email: henmulia@yahoo.com

Senin, 09 November 2009

Tweeter Bazooka

Video yang saya unggah di atas hanyalah cuplikan atau sebagian saja, dan saya hanya menunjukkan peran tweeter bazooka dan mini bazooka untuk menarik burung walet.
Untuk menghindari kesalahpahaman, perlu dicatat bahwa tweeter dan mini bazooka hanyalah alat bantu untuk melontarkan suara dan fokus ke suatu arah tertentu, effektifitas untuk menarik burung bergantung suara panggil dan suara tarik (pulling sound) yang dimainkan atau dilontarkan.
Penggunaan tweeter dan mini bazooka bukanlah suatu keharusan. Anda harus mengetahui dengan benar dan pasti siapa "lawan" anda, perlu tidaknya serangan udara untuk "membumihanguskan lawan" di kandangnya. Gunakan jurus "Mendapatkan 10 ribu anak panah tanpa Tenaga".
Dan jangan pernah menggunakan suara stress, suara artificial atau suara test lokasi untuk di bazooka, karena suara-suara tersebut akan menjadi bumerang untuk Rumah Burung Anda (RBW)


Tweeter bazooka ini saya gunakan untuk mengatasi perang suara di suatu daerah yang mana semua rumah burung walet adu keras suara tiruan yang digunakan atau dimainkan untuk memikat walet agar menuju rumah burung walet nya. Di daerah ini berbagai macam suara walet dimainkan di berbagai rumah burung walet, saling sahut menyahut, saya saja pusing... bagaimana dengan burungnya?? Mau tidak mau agar suara walet yang saya mainkan fokus, terarah dan terdengar jelas oleh sang burung walet, maka saya pergunakan SLR 1000 Tweeter Bazooka, sedangkan suara di Lubang Masuk Burung (LMB) saya set tidak terlalu keras. Di roving room, saya pergunakan Mini Bazooka SLR 800 buatan Piro.

Mini Bazooka ini saya pergunakan agar suara tarik (pulling sound) terdengar jelas oleh burung yang sedang berada di sekitar atau di depan LMB. Suara tarik saya set lebih kencang atau keras dibandingkan suara panggil atau suara luar. Teknik ini pernahh saya sampaikan kepada beberapa rekan KPW dan saya menyebutnya sebagai Tai Chi Sound Technique dan di Catatan saya yang lalu saya pernah menyinggungnya...yang saya posting pada hari Sabtu, 28 Februari 2009 dengan judul How to Win? http://waletindonesia.blogspot.com/2009/02/how-to-win.html sebagai berikut:

Yesterday I received email from my readers, after they watched my "Singkawang Swiftlet Center" and "Bengkulu Swiftlet Center" video. They are asking how to win in sound war at swiftlet center, since many BHs play the sounds very very loud and many types of sound they use to lure swiftlets.

I replied their email and ask them to use Tai Chi sound. What is Tai Chi Sound?

The Song of Tai Chi
"Ketika dilahirkan, manusia lembut dan lemah,
Saat meninggal menjadi kaku dan keras,
Ribuan mahluk, tanaman dan pepohonan,
Adalah lembut dan lentur ketika tumbuh.
Saat mati menjadi getas dan kering.
Sesungguhnya yang kaku dan keras adalah sahabat dari kematian,
Yang lembut dan lentur adalah sahabat dari kehidupan"
(Tao Te Ching)

I hope my blog's readers understand what I meant about Tai Chi Sound. Good Luck!


Rumah burung walet yang saya "tangani" ini berada di pusat kota, di central walet. Ukuran RBW 30 m x 30 m, 6 lantai dan menara atau rumah monyet ukuran 8 m x 8 m di lantai 7.
Saya juga menggunakan Mini Bazooka di setiap Lubang Antar Lantai (LAL) untuk menarik burung walet agar turun dan menjelajah sampai lantai terbawah. Di sini peran pulling dan guiding sound sangat besar, dan saya menggunakan suara tarik (pulling sound) terbaru yang memang saya buat secara khusus untuk RBW ini dan suara ini tidak beredar di pasaran.

Sound system yang saya gunakan adalah player khusus untuk suara walet yang didesain sedemikian rupa untuk menhindari pencurian suara atau penggandaan suara baik penjaga RBW, pemilik atau rekannya dan pencuri. Dan bila direkam dari output audionya, maka yang didapatkan adalah suara "dummy" yang berdesis.
Hal ini saya lakukan untuk menghindari adanya penggandaan suara dan pengklaiman bahwa suara yang saya gunakan adalah suara seseorang atau yang mengaku membuatnya atau yang mengaku sebagai pemilik utama suara tersebut.

Memang sebaiknya menjaga lebih baik dari pada terjadi pemfitnahan. Sebagai info saja, pada bulan May 2008, saya pernah menerima suara walet dari seseorang yang nyatanya suara walet itu direkam dari RBW tetangganya,diemail ke saya dengan judul "Suara Tetangga Bertenaga sebelah kanan RBW saya". Suara yang direkamnya (mungkin dengan menggunakan hand phone?) banyak noise, namun saya tahu pasti suara apa yang digunakan oleh tetangganya, dan saya juga memiliki suara tersebut dengan komplit.
Email dan file suara yang diemail ke saya tersebut masih saya simpan sampai sekarang dan sebagai bukti bahwa terjadi perekaman suara tetangga dan pemfitnahan bahwa saya mempergunakan suaranya.... bagaimana bisa digunakan, lha suara noisenya lebih besar dari suara walet nya... Kalau saya punya yang komplit mengapa harus mempergunakan suara yang sepotong dan noisenya besar sekali??? Nah, kalau kejadiannya seperti ini, siapa yang nyolong dan siapa yang dituduh?
Ini adalah fakta, Untuk itu saya ingatkan kembali kepada rekan-rekan untuk mewaspadai pencurian dan perekaman suara RBW anda.

Hari Jumat lalu saya juga baru mendapat info dari rekan saya bahwa di suatu kota di Kalimantan sedang marak pencurian swiftlet sound player, kalau USB atau SD card nya bisa diambil, ya playernya tidak dibawa, kalau tidak bisa atau tidak ada SD atau USB, maka audio playernya yang digondol... HATI HATI.

Oh ya, pemilik RBW sempat bertanya kepada saya, suara apa yang saya pakai, saya katakan bahwa suara yang saya gunakan adalah suara W4L3T G1L4 dan W4L3T 4Y4N, biar ludah alias ilernya buanyaaakkkk gituuu... dan terbukti mempunyai daya sedot seperti pompa sedot septic tank ...

Sabtu, 31 Oktober 2009

Bazooka Tweeter - PIRO SLR 1000




Bazooka Tweeter digunakan untuk long throw suara walet.
Memanggil burung walet yang berada di kejauhan.
Jarak tembak 500 - 1.000 m
Bazzoka Tweeter sangat effektif dipergunakan untuk di daerah sentral walet atau rumah burung walet yang berada di daerah lintasan dan perburuan.

Piro SLR 1000 - Super Long Range Tweeter ( Burung hanya akan mendengar suara dari Rumah Burung Anda)

Keunggulan SLR 1000 :

1. Jangkauan suara jauh keatas ( 500m s/ d 1000m) , sehingga burung bisa mendengar walaupun di posisi Tinggi.
2. Suara bisa diset kencang hanya untuk burung, karena bisa diarahkan keatas, sehingga tidak mengganggu tetangga.
3. Suara bisa diarahkan ke sudut tertentu, misalnya kearah rumah walet yang sudah banyak burungnya dan untuk menarik burung ke rumah burung walet anda.
4. Cocok sekali untuk bangunan rumah walet yang lebih rendah dari tetanggga, sehingga burung bisa tetap dipanggil turun.
5. Didesain khusus untuk rumah walet ( suara luar/ suara panggil) dengan SPL > 90 dB ( Desible, standar pengukuran suara)

* Dengan Super Long Range Tweeter Tembak Bazzoka, BURUNG HANYA AKAN MENDENGAR SUARA DARI RUMAH WALET ANDA, Tidak ada suara lain yang bisa didengar oleh burung dengan tweeter biasa dan ketinggian.

Rekomendasi Pasang :

1. Posisikan ( Tembak) SLR-1000 ke ARAH RUMAH WALET YANG SUDAH BANYAK BURUNGNYA UNTUK MENARIK BURUNGNYA.
2. Untuk rumah walet yang lebih rendah bangunannya, TWEETER INI MUTLAK DIPERLUKAN.
3. Posisikan ( Tembak) SLR-1000 ke ARAH BURUNG PULANG
4. Penembakan suara bisa dilakukan 1, 2, 3, 4 ARAH dan 8 arah.


Anda membutuhkannya? hubungi +6281932346435; henmulia@yahoo.com

Jumat, 02 Oktober 2009

Polewalimandar, Pundi-pundi Walet Anyar

Polewalimandar, Pundi-pundi Walet Anyar
Oleh trubusid_admindb
Kamis, Oktober 01, 2009

LAYAKNYA RAMBO, JAGOAN FILM PERANG AMERIKA, HAJI AMIRUDDIN MENYANDANG SENJATA LARAS PANJANG DI TANGAN. IA MEMBERONDONG SEKAWANAN BURUNG YANG MENYERBU RUKO TEMPAT TINGGALNYA. 'SAYA MERASA TERGANGGU. BURUNG-BURUNG ITU KELUAR-MASUK RUKO DAN JUMLAHNYA RATUSAN,' UJAR WARGA SIDODADI, KECAMATAN WONOMULYO, KABUPATEN POLEWALIMANDAR, SULAWESI BARAT.

Beruntung tak satu pun peluru yang Amiruddin tembakkan mengenai sasaran. Sebab, andai saat itu tahu kawanan burung itu sumber pundi-pundi emas, ia tak bakal mengusiknya. Kebetulan setelah sebulan Amiruddin berperang melawan kawanan burung itu, seorang pedagang Bali singgah ke tempatnya. Begitu melihat burung-burung itu ditembaki buru-buru ia menghentikan aksi Amiruddin. 'Itu walet! Sarangnya laku dijual mahal,' ujar Amiruddin menirukan sang pedagang.

Awalnya, 6 bulan sejak kedatangan walet-walet itu Amiruddin hanya membagi-bagikan gratis sarang-sarang walet itu kepada para tetangga. Namun, sejak 2001 silam, setahun setelah walet-walet itu masuk, ia mulai memanen dan menjual sarang si liur emas itu. 'Panen pertama dapat 1 kg dari 120 sarang. Harga sarang waktu itu Rp6-juta per kg,' ujar Amiruddin.

Kini, ruko 2 lantai seluas 80 m2 yang telah direnovasi dan tak lagi ditinggali itu menghasilkan 10 kg/bulan sarang mangkok. Dengan harga sarang saat ini Rp12,5-juta per kg, kawanan burung itu sudah menjadi pundi-pundi penghasil rupiah. Populasi waletnya kini mencapai ribuan ekor.

Lintasan baru
Ketidaktahuan warga Wonomulyo soal walet tidak saja menimpa Amiruddin. 'Sebelumnya tidak ada walet di daerah ini, sehingga banyak yang tidak tahu soal walet,' ujar Muchlis Selo, peternak baru walet di Wonomulyo. Walet baru datang sekitar 10 tahun silam ketika ada rumah bekas terbakar yang dibiarkan terbengkalai selama hampir 2 tahun.

Ketika walet berdatangan ke rumah itu, penduduk di kecamatan seluas 26.726 km2 itu belum menggubris. Setahun berselang, pada 2000, ketika ruko Amiruddin yang berselisih satu rumah dengan rumah bekas terbakar itu dijadikan sarang walet, barulah mereka tahu tentang si liur emas. Rumah-rumah walet lain pun mulai bermunculan. Saat ini di pusat kelurahan Sidodadi, dalam radius 500 m2 telah berdiri 70 rumah walet.

'Kemungkinan walet-walet itu datang dari daerah lain seperti Samarinda, Kalimantan Timur, atau Makassar, Sulawesi Selatan,' ujar Mulyadi, konsultan rumah walet di Tangerang, Banten. Menurut Drs Arief Budiman, konsultan walet di Kendal, Jawa Tengah, walet-walet itu bisa jadi datang dari daerah lain, tapi tidak menutup kemungkinan di daerah sekitar Wonomulyo. Polewalimandar mungkin sudah menyimpan potensi walet gua yang tidak diketahui banyak orang.

'Jika walet itu datang dari daerah lain, berarti sumber pakan di tempat asalnya menipis sehingga mereka datang ke tempat yang masih tersedia banyak pakan,' ujar Arief. Wonomulyo memang ideal sebagai tempat tinggal sekaligus mencari pakan walet karena banyak terdapat kebun kakao dan areal pesawahan yang menjadi sumber mata pencaharian penduduk.

Selain itu, jarak kecamatan berpenduduk 30.279 jiwa pada 2008 itu hanya sekitar 5 km dari laut dan 10 km dari perbukitan yang hutannya masih hijau. Areal pesawahan, perkebunan, dan hutan biasanya dihuni berbagai jenis serangga yang menjadi pakan walet. Dan karena dekat dengan laut, banyak walet betah bersarang. 'Rumah-rumah walet di sini bisa panen 100% sarang walet, tidak ada campuran seriti,' ujar Muchlis.

Di Kabupaten Polewalimandar, Wonomulyo menjadi sentra walet satu-satunya. 'Di daerah lain mungkin sudah mulai berkembang, tapi Wonomulyo perintisnya dan yang terbesar,' ujar Muchlis. Bahkan, di Sulawesi Barat, belum ada daerah lain yang seperti Wonomulyo. 'Baru Mamuju yang mulai ada satu-dua rumah walet,' lanjut peternak yang baru 2 tahun membudidayakan si liur emas itu.

Melek teknologi
Meski peternak di Wonomulyo rata-rata masih baru, tapi soal teknologi walet mereka tak kalah dengan sentra lain di Indonesia. Twitter menjadi alat wajib pengundang walet di rumah-rumah itu. Amiruddin, misalnya, menaruh sekitar 30 twitter di tiap lantai rumah walet miliknya. Untuk alat pemutar suara pun CPU dengan memori yang disimpan dalam USB sudah lazim digunakan.

Sementara untuk menjaga kelembapan bangunan walet, pemilik toko kelontong itu membangun sebuah kolam di dalam rumah walet. Ukuran kolamnya 4 m x 1,5 m dengan ketinggian air sekitar 30 cm. Beberapa peternak bahkan mulai menggunakan humidifier atau mesin pengabut yang lebih praktis digunakan.

Rumah walet yang dimiliki warga Wonomulyo rata-rata berukuran 4 m x 16 m dengan 3 atau 4 lantai. Lantai dasar masih ada yang difungsikan sebagai toko dan lantai kedua sebagai tempat tinggal. Namun, jajaran ruko di kompleks Anditapermai ratarata sudah berubah menjadi rumah walet sepenuhnya. Dengan kehadiran pendatang dari penjuru Sulawesi Barat, rumah walet baru bergaya minimalis pun makin banyak.

Meski hanya lantai atas yang digunakan sebagai rumah walet, tetapi cukup produktif. Walet di rumah 4 lantai seperti milik Muchlis yang baru berumur 10 bulan, sudah menghasilkan 80 sarang walet. 'Rumah umur 5 tahunan di sini bahkan ada yang bisa panen 2 kali dalam sebulan. Tiap panen 7 kg sarang,' ujarnya. Pantas Wonomulyo di Polewalimandar siap mencuat menjadi sentra walet anyar. (Tri Susanti)

Jumat, 04 September 2009

Undang Walet Jarak Jauh

Undang Walet Jarak Jauh
Oleh trubusid_admindb
Selasa, September 01, 2009 13:04:59



SUARANYA BISA TERDENGAR LEBIH JAUH. ITULAH SEPENGGAL KALIMAT IKLAN PRODUK TELEVISI BERTEKNOLOGI SUARA BAZOOKA BEBERAPA TAHUN LALU. UNGKAPAN ITU PAS MENGGAMBARKAN TEMUAN BARU TWEETER RUMAH WALET YANG DAPAT MEMANCARKAN SUARA JAUH: TWEETER BAZOOKA.







Tweeter berbentuk tabung layaknya meriam itu mulai dilirik peternak Collocalia fuciphaga di tanahair seperti Pontianak, Kalimantan Barat, dan Surabaya, Jawa Timur. Pun peternak di Malaysia dan Vietnam. Musababnya tweeter baru ini selain berfungsi memancing walet juga ramah lingkungan. Tidak menimbulkan suara bising yang mengganggu penduduk sekitar rumah si liur emas.

Tweeter konvensional bertipe corong disinyalir cukup menimbulkan gangguan. Tiga tahun lalu di sentra walet di Sedayu, Gresik, Jawa Timur, sekelompok masyarakat sampai mendatangi sebuah rumah walet akibat bunyi tweeter yang tak putus-putus sepanjang hari. 'Mereka terganggu karena suara tweeter corong menyebar sampai pemukiman warga,' ujar Ubaidillah Thohir, praktisi walet di Gresik. Beruntung masalah ini bisa diselesaikan dengan damai. Itu tak bakal terjadi jika menggunakan tweeter bazooka.

Jarak jauh
Tweeter bazooka tak hanya memfokuskan suara ke satu titik, tapi juga dapat memancarkan gema suara lebih jauh. Tweeter konvensional menjangkau jarak sekitar 100 m. 'Bahkan bisa lebih pendek, hanya 50 m, kalau terhalang gedung-gedung walet lain seperti di sentra walet Sedayu,' ujar Ubaidillah.

Tweeter bazooka dibuat dengan cara memodifikasi moncong tweeter konvensional. 'Jika moncong tweeter dimodifikasi lebih panjang, frekuensi makin rendah dan gelombang suara makin panjang sehingga suara dapat terdengar lebih jauh,' ujar Hary K Nugroho, konsultan walet di Kelapagading, Jakarta Utara. Tak hanya itu, kelebihan tweeter bazooka mempunyai daya sampai 100 watt; tweeter konvensional berdaya 1 watt. Itu artinya kekuatan suara tweeter bazooka jauh lebih tinggi, menjangkau area sejauh 500-1.000 m.

Meski suara lebih fokus, tetapi pemasangan tweeter bazooka perlu cermat. 'Jangan sampai salah sasaran,' ujar Harry. Untuk mengundang walet, tweeter di pasang di atap gedung dengan kemiringan sekitar 450 ke arah langit yang biasa dilalui walet. Tweeter bukan diarahkan ke gedung atau benda lain di sekitarnya. Oleh karena itu menurut Philip Yamin, konsultan walet, tweeter bazooka harus dipasang pada ketinggian minimal setingkat lebih tinggi daripada bangunan di sekitarnya.

Lubang tweeter tidak boleh kemasukan air hujan yang berakibat suara tidak lepas. Jadi tweeter perlu diletakkan di teras atau di bawah atap pelindung. Cara lain dengan mengatur kemiringan hingga 200. Makin kecil sudut, makin kecil kemungkinan kemasukan air. 'Yang penting tweeter tetap mengarah ke langit, bukan gedung,' ujar Hary.

Jika rumah walet kecil, misal berukuran 8 m x 12 m, cukup menggunakan sebuah tweeter bazooka. Namun, kenyataannya ada juga yang menggunakan 4 tweeter sekaligus dengan mengarahkan suara ke empat penjuru mata angin. Menurut Hary pemasangan tweeter lebih dari satu kurang efektif karena hanya akan membuat walet bingung. Ia hanya terbang memutar-mutar mengelilingi suara, tidak tergiring masuk gedung.

Untuk mengarahkan walet yang terpancing masuk, di tiap lubang keluarmasuk dan di dalam rumah dapat dipasang tweeter biasa berukuran kecil. Menurut Philip kunci keberhasilan mengundang walet masuk, tetap tergantung jenis suara pancingan yang diputar. 'Meski pakai bazooka, tapi jika suaranya salah atau jelek susah berhasil memancing walet,' ujarnya. Yang dimaksud Philip, suara salah misalnya memancing walet di luar dengan suara walet mengeram.

Multi media
Di dalam dunia pancing-memancing walet, tak hanya tweeter yang dimodifikasi, tapi juga media penyimpan suaranya. Pada awal perkembangannya sumber suara pemancing berasal dari kaset yang diputar. Sejalan dengan perkembangan teknologi kemudian beralih ke CD, lalu menggunakan USB, dan kini multimedia card (MMC).

MMC yang sebetulnya sudah diperkenalkan sejak 5 tahun lalu, mulai digunakan peternak walet di Jawa dan luar Jawa. MMC memiliki kapasitas suara lebih besar. Ia bisa menyimpan beragam jenis suara dalam satu keping kartu yang sangat kecil. Selain itu lebih awet dibanding media lain. Sayangnya, suaranya tak sejernih CD. CD walet lebih disukai peternak karena suara yang dihasilkan lebih jernih. 'Namun jika diputar nonstop umurnya paling lama 6 bulan,' ujar Ubaidillah.

Sementara alat pemutar atau player dipilih sesuai media penyimpan suara. CPU termasuk player multifungsi karena dapat digunakan untuk CD, USB, maupun MMC. CPU dapat dihubungkan dengan 2 kabel output untuk suara luar dan dalam. Alat ini juga dapat dilengkapi timer alias pengatur waktu sehingga interval pemutaran suara dapat diatur.

'Agar media dan piranti pemutar awet, sebaiknya suara tidak diputar nonstop,' ujar Hary. Di sinilah letak keunggulan timer. Dengan memori hingga 16 perintah, timer dapat digunakan untuk mengatur waktu pemutaran suara sesuai keinginan peternak. Pagi, misalnya, player dinyalakan pukul 06.00-09.00, siang hari 11.00-14.00, dan malam pukul 15.00-20.00.

Tak hanya itu, kini ada CPU pemutar suara walet yang dilengkapi telepon seluler. Dengan kemajuan teknologi itu, peternak yang tinggal jauh dari rumah walet dapat mengetahui gangguan teknis pada player. Misal jika aliran listrik padam sehingga player tidak bekerja, secara otomatis 'telepon CPU' akan menghubungi nomor si empunya. Hubungan telepon itu tidak akan putus sampai si empunya menelepon balik ke nomor tersebut-artinya pemilik menyadari ada masalah dengan player di rumah waletnya. Dengan modifikasi dalam teknologi walet, upaya memancing walet dapat lebih mudah. (Tri Susanti)

Selasa, 01 September 2009

Aroma is not Everything

In the previous posting about my aroma, Tan2020 have reported the result of my aroma which he tested in his BH. The result is GOOD because his BH location very good, BH design very good, and the most important is he take care of his BH very very well.
Is it because of my aroma make his BH success???????
His BH success because his BH located at VERY GOOD LOCATION, GOOD DESIGN, LESS COMPETITOR and the important is he take care and manage his BH very very well. He is not just built the BH and not take care of it.
So, his BH success is not just because of my aroma, but because of HIM.

Please note that Aroma is not MAGIC and aroma is not EVERYTHING, which can solve our BH problem and make birds population grow faster. Aroma is complementary.

Jumat, 28 Agustus 2009

My Aroma Effect - Update as per 27 August 2009

From Jtan2020

Hi all ..... now 11:08PM ... drive to my BH and bring back this photo to share with you all !

CONGRATULATION TO PAK HEN - your aroma PASS my test in 10 days !

- an increase of that particular colony from 25 to 100++ birds in 10 days. i.e. 400%
- all the places sprayed by aroma, was taken out by the birds completely in 10 days !
- an increase in BH polulation from 150 birds to 350++ birds in 10 days. i.e. 240%

The effectiveness of a good aroma ! - EXCELLENCE !

11.08PM - Colony FULL HOUSE ! 100++ birds

Selasa, 25 Agustus 2009

My Aroma Effect - Update

24th August 2009
7th Day after applying Pak Hen Aroma.


Weather today here : various clouds cool

Last 15 mins birds count hit 300++ this is the higher records ever for my BH. First time my wife said cannot count ! he he
Colony count hit 68 birds.

6:59PM


Where did the birds come from? I am still wondering ..... With good Micro & Macrohabitat, right timing, Good Sound, Good Aroma and cool weather sure have their effect on the birds to come and stay. By analysis the recent Hot Spot Borneo statalite picture dated 24 August 2009, It seen that the Hot Spot in Kalimantan continue to increase(getting worse), again this might be the possibility that some young birds migrate away from the Hot Spot area. Is this what we called LUCK ?


Hi all ...just have a quick scan on my CCTV video backup this morning, the birds count hit 74 birds ! last night .. see how the birds line-up.

8:53PM

Sabtu, 22 Agustus 2009

Seminar Budidaya dan Bisnis Walet Report

Seminar Budidaya dan Bisnis Walet which held in Jakarta on 8 - 9 August 2009 has been success with 103 participants came from Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapore and Vietnam (come from Houston - USA).

























After seminar, on 10 August 2009, 45 participants have visited BH in Panimbang - Banten - Java, 4 hours from Jakarta. On the way to Panimbang we also visited Sriti's Nest Cleaning Processing.

For full report, please see http://swiftlet-farming -indonesia.blogspot.com

Jumat, 21 Agustus 2009

My Aroma



Last night I just received email from my friend who are using my aroma spray in can, as follow:

Colony count hit 50 just now !Thursday, August 20, 2009 6:51 PM
From: This sender is DomainKeys verified"
View contact detailsTo: "hendri mulia" Message contains attachmentsNM 50.jpg (38KB), 20Aug2009BirdCount50aroma.jpg (42KB)

Dear Bro,

Thing I made change/add to the BH for the past 3 days :-

Apply your Spray Aroma on 18th August 2009 in roving room and near the
colony also the entrance hole. - see photo - blue mark are places I
spray your aroma.
Add water and your water base aroma to bird shit. - to produce extra
ammonia smell.
Make extra fooding for birds - 4 pail - today can see many worms start to
appear.
Add Sound Play on Bazooka : HXXXX - Birds seen like this sound very much,
I can see many birds from nearby BH come to play
whole day.
Raining day for the pass 3 days - cool - this may be 1 of the reasons.

Last 15 mins count for today pass 200++

Any comments !

Regards
--
J T

After I read his email, I call him. He said that he also surprise that bird's colony now hit to 50 birds after spray my aroma in can three days ago.
Three days ago the colony only have 25 birds and now become 50 birds, only three days!

For info, I gave him my aroma in can when he in Jakarta, 8 August 2009.

Photobucket


Photobucket

Kamis, 13 Agustus 2009

A Possible Effect of Electromagnetic Radiation

Electromagnetic Biology and Medicine, 26: 63–72, 2007
DOI: 10.1080/15368370701205693
The original publication is available at www.informaworld.com

A Possible Effect of Electromagnetic Radiation
from Mobile Phone Base Stations on the Number
of Breeding House Sparrows (Passer domesticus)
JORIS EVERAERT AND DIRK BAUWENS

Research Institute for Nature and Forest, Brussels, Belgium.

Abstract:
A possible effect of long-term exposure to low-intensity electromagnetic radiation from mobile phone (GSM) base stations on the number of House Sparrows during the breeding season was studied in six residential districts in Belgium. We sampled 150 point locations within the 6 areas to examine small-scale geographic variation in the number of House Sparrow males and the strength of electromagnetic radiation from base stations. Spatial variation in the number of House Sparrow males was negatively and highly significantly related to the strength of electric fields from both the 900 and 1800MHz downlink frequency bands and from the sum of these bands(Chi²-tests and AIC-criteria, P < 0.001). This negative relationship was highly similar within each
of the six study areas, despite differences among areas in both the number of birds and radiation levels. Thus, our data show that fewer House Sparrow males were seen at locations with relatively high electric field strength values of GSM base stations and therefore support the notion that long-term exposure to higher levels of radiation negatively affects the abundance or behavior of House Sparrows in the wild.

Keywords: Antenna; Bird; Electromagnetic radiation; GSM base station; Non thermal effect.

Address correspondence to Joris Everaert, Research Institute for Nature and Forest,
Kliniekstraat 25, B-1070 Brussels, Belgium; E-mail: joris.everaert@inbo.be

Introduction
Mobile phones, also called cellular phones or handies, are now an integral part of modern life.
The widespread use of mobile phones has been accompanied by the installation of an increasing number of base station antennas on masts and buildings. GSM base stations emit electromagnetic fields at high frequencies in the 900 and 1800 MHz range (= downlink frequency bands), pulse modulated in low frequencies (Hyland, 2000). In recent years, increased public awareness and scientific research have questioned to what extent the non thermal exposure to low-intensity electromagnetic fields may affect the health, reproduction, well-being and behaviour of humans and other organisms. There is an active and, as yet, unsettled controversy about current safety
standards. Some researchers and national committees advised more stringent safety standards, based on experimental data with reported biological effects from (chronic) non thermal exposures (Hyland, 2000; Belyaev, 2005a, b).

There are studies showing frequency-specific biological effects, and studies demonstrating that a high frequency signal modulated at certain low frequencies, or a signal that is pulsed, has more harmful effects than an unmodulated, steady carrier. These so-called ‘window effects’ greatly complicate any attempt to understand the relationship between electromagnetic radiation and health (Adey, 1981; Hyland, 2000; Lai, 2005; Belyaev, 2005a).
Public and scientific concern were also raised by results of some epidemiologic studies that examined the effects of long-term exposure on humans living near mobile phone base stations. A growing number of studies point to the existence of effects, ranging from changes in cognitive performance and sleep disturbances to serious illness and disablement, with even higher cancer rates (Santini et al., 2002; Navarro et al., 2003; Bortkiewicz et al., 2004; Eger et al., 2004; Wolf
and Wolf, 2004; Hutter et al., 2006; Abdel-Rassoul et al., 2006).
Short-term laboratory experiments used mice, rats, chickens and other birds as study models to better understand the possible implications of electromagnetic fields on organismal functioning. In many studies however, ‘mobile communication-like’ signals were investigated that in fact were different from the real exposures in such aspects as intensity, carrier frequency, modulation, polarisation, duration and intermittence (Belyaev, 2005a, b; Lai, 2005).
Studies of the effects of exposure to electromagnetic fields on populations of wild birds can provide further insights into the potential impacts on animal and human health (Fernie and Reynolds, 2005). Birds are candidates for being good biological indicators for low-intensity electromagnetic radiation: they have thin skulls, their feathers can act as dielectric receptors of microwave radiation, many species use magnetic navigation, they are very mobile and possible psychosomatic effects are absent (Bigu-del-Blanco and Romero-Sierra, 1975; Balmori, 2005).
Field studies of wild populations can also reveal possible effects of long-term exposure to radiation from GSM base stations. In addition, species like the House Sparrow (Passer domesticus) are especially of interest because a large proportion of the birds use higher breeding height locations like roof spaces (Wotton et al., 2002) where potentially higher levels of base station radiation are present.
Here we report results of a preliminary study that explored putative effects of electromagnetic radiation emitted by mobile phone base stations on the number of House Sparrows during the breeding season. Specifically, we examined small-scale geographic variation within each of six study areas in both the number of birds and the strength of electromagnetic radiation. If electromagnetic fields from GSM base stations have adverse effects on bird populations, this should result in a decreasing number of House Sparrows with increasing levels of radiation.

Materials and Methods
Data collection
We determined, during the spring of 2006, the number of House Sparrow males and the strength of electromagnetic radiation from mobile phone (GSM) base stations at 150 locations that were distributed over six residential areas in the region of Gent – Sint-Niklaas (province of East Flanders, Belgium). The study areas were similar in overall appearance, with abundant hedges,bushes and other vegetation between the houses, and with one or more GSM base stations nearby.
The 150 study locations were selected in advance as points on a map (ArcGIS). All locations were situated along small roads within the residential areas and were at variable distances from the nearest GSM base station (mean = 352 m, range = 91 - 903 m, about 90% at 100 - 600 m).
The number of locations, and study dates, within each area were: Lokeren - Eksaarde (N = 19; April 9), Lokeren - Spoele (N = 27, April 15), Lokeren - Bergendries (N = 17, April 17), Sint Niklaas - Clementwijk (N = 25, April 20), Gent- Wondelgem (N = 38, April 25) and Gent - Mariakerke (N = 24, April 26).
At each location, a point count of five minutes (see ‘point transect count’ in Bibby et al., 2000; Hustings et al., 1985) was made of the number House Sparrow males that were singing or otherwise visible within a distance of ca. 30 m. Sightings of birds were done with binoculars (Swarovski EL 10x42). Counts were restricted to the morning hours (7-11h), when male House Sparrows are most active (Hustings et al., 1985; Van Dijk, 2004), on days with favourable weather conditions (no rain, little wind, sunny, normal temperatures).

Simultaneously, we measured the maximum value (peak hold) of the electric field strength (in V/m) from the downlink frequencies of GSM 900 MHz (925-960 MHz) and GSM 1800 MHz (1805-1880 MHz) base station antennas. Measurements at each location were made during two minutes for each frequency band. The electric field strength was measured using a portable calibrated high-frequency spectrum analyser (Aaronia Spectran HF-6080; typ. accuracy ± 3 dB)with calibrated EMC directional antenna (HyperLOG 6080; logarithmic-periodic). To measure the maximum radiation values, the EMC antenna was turned around in all directions.
Additional antennas for the new UMTS-system are now being installed on several existing base stations in Belgium. Therefore, at several locations within each study area, the electric field strength from the downlink frequencies of UMTS antennas (2110-2170 MHz) was also checked, but no significant signals were found. Consequently, the UMTS variable was not taken into account for further analysis.

Data analyses
The sum (Egsm) of the measured GSM 900 MHz (Egsm900) and 1800 MHz (Egsm1800) electric
field strength values was calculated using the formula: Egsm =  Egsm900² + Egsm1800²
(Electronic Communications Committee, 2003). Prior to all analyses, the electric field strength variables were logarithmically transformed to achieve normality of their frequency distributions.
We explored relations between the number of House Sparrow males (dependent variable) and each of the three electric field strength variables. As the dependent variable consists of count data and is hence discontinuous, standard regression (or correlation) techniques are inappropriate.
Instead, we used Poisson regressions (i.e., generalized linear models) with a log link function to examine putative relationships. Preliminary analyses indicated that significant variation among the six study areas was present for all variables (ANOVA, P < 0.001). Therefore we included “area” as a categorical factor in all models and considered it to be a proxy for all unknown, and hence unmeasured variables causing among area variation in the number of House Sparrows
(e.g., habitat characteristics, food availability, temporal differences among censuses). Statistical analyses were done with S-PLUS v. 6.2.
Results
The number of House Sparrow males varied between zero and four at the different locations. The measured electric field strengths were seldom higher than 1 V/m, and most often well below that value (Table 1).

To explore the putative effects of area, electric field strength and their interaction on the number of House Sparrows, we performed separate analyses for each of the three radiation variables. As no significant interaction effect between area and electric field strength was detected in any of the three analyses (Chi²-tests and AIC-criteria, P > 0.20), we excluded the interaction term from further treatments. The final regression models were highly similar for the three electric strength variables. They revealed significant variation among study areas (Chi²-
tests, P < 0.001), and a highly significant negative effect of electric field strength on the number of House Sparrow males (Chi²-tests and AIC-criteria, P < 0.001; Figure 1). Estimates of the scaled deviance (1.06 – 1.14) were very close to 1, and examination of the regression residuals revealed no clear patterns or deviations from normality. These observations indicate an adequate fit of the models to the data.

Table 1
Summary statistics (mean, 95% confidence interval, range) of the number of House Sparrow males and electric field strength variables in the six study areas. Means and confidence limits of the radiation variables were calculated after back-transformation of the logarithmically transformed data; the confidence intervals are therefore asymmetrical around the mean
Study area Number of House Sparrow males Egsm900(V/m)Egsm1800 (V/m)Egsm (V/m)
1: Lokeren - Eksaarde mean 1.5 0.153 0.075 0.193 95% CI 0.8 – 2.2 0.108 - 0.216 0.046 - 0.123 0.139 - 0.270 Min - Max 0 – 4 0.036 - 0.494 0.015 - 0.333 0.052 - 0.505
2: Lokeren - Spoele mean 1.9 0.084 0.083 0.130 95% CI 1.5 – 2.3 0.059 - 0.120 0.058 - 0.120 0.091 - 0.183 Min - Max 0 – 4 0.008 - 0.327 0.013 - 0.394 0.016 - 0.412
3: Lokeren - Bergendries mean 0.8 0.245 0.017 0.247 95% CI 0.3 - 1.3 0.186 - 0.323 0.009 - 0.031 0.187 - 0.327 Min - Max 0 - 3 0.052 - 0.537 0.004 - 0.125 0.052 - 0.551
4: Sint Niklaas - Clementwijk mean 1.0 0.130 0.056 0.148 95% CI 0.6 - 1.4 0.098 - 0.173 0.039 - 0.082 0.111 - 0.197 Min - Max 0 - 3 0.019 - 0.412 0.009 - 0.231 0.021 - 0.469
5: Gent - Wondelgem mean 1.3 0.109 0.040 0.12195% CI 0.9 - 1.6 0.079 - 0.151 0.030 - 0.054 0.089 - 0.165 Min - Max 0 - 4 0.016 - 1.006 0.009 - 0.321 0.022 - 1.056
6: Gent - Mariakerke mean 0.8 0.043 0.080 0.160 95% CI 0.3 - 1.2 0.024 - 0.078 0.049 - 0.130 0.107 - 0.240 Min - Max 0 - 4 0.006 - 1.022 0.017 - 0.824 0.040 - 1.023

Figure 1. Scatterplots of the observed number of House Sparrow males as a function of the sum (Egsm) of GSM 900 MHz and GSM 1800 MHz electric field strength values (logarithmic scale)at the different locations within each of the six study areas. Regression lines were obtained by Poisson regressions and incorporated the effects of area and radiation intensity (see text).
We further explored the separate effects of electromagnetic radiation at the two frequencies by modelling the number of House Sparrow males as a function of area, electric field strength at 900 MHz, electric field strength at 1800 MHz, and their interactions. The final model retained included highly significant effects of area and the two electric field strengths (Chi²-tests and AICcriteria,P < 0.001) and a marginally significant interaction effect between both field strengths (Chi²-test, P = 0.02). This strongly suggests that the electromagnetic radiations at both frequencies have complex additive effects on the number of House Sparrow males.
Overall, analyses indicated that the strength of all three radiation variables decreased with increasing distance to the nearest base station (F-tests, P < 0.001). We therefore examined whether the negative relation between the number of birds and strength of radiation was induced by variation among sampling locations in the distance to GSM base stations. Upon adding distance to the nearest base station as an additional factor to the regression models that included area and electric field strength, distance did not account for a significant portion of the residual variation (Chi²-tests and AIC-criteria, P > 0.50). Conversely, when we forced distance as the first factor into the regression equations, both area and radiation strength were subsequently selected as highly significant factors (Chi²-tests and AIC-criteria, P < 0.001).

Discussion
Our results indicate that spatial variation among sampling locations in the number of House Sparrow males was negatively related to the strength of electric fields emitted by GSM base stations. Importantly, this relation was highly similar among the six study areas, as evidenced by the non-significant interaction effects between area and electric field strength, despite differences among areas in both the number of birds and radiation levels. Moreover, the negative association was detected for electric field strengths from both the 900 and 1800 MHz frequency bands and
from the sum of these frequency bands. Our analyses also revealed that the negative relation between the number of birds and strength of radiation was not a simple consequence of differences among sampling locations in distances to the nearest GSM base station. This can probably be attributed to variations in the orientation, position and number of antennas and to the shielding effects and multiple reflections from structures like buildings and trees, which affect local levels of exposure to electromagnetic radiation. Thus, our data show that fewer House
Sparrow males were seen at locations with relatively high electric field strength values of GSM base stations and therefore support the notion that long-term exposure to higher levels of radiation negatively affects the abundance or behaviour of House Sparrows in the wild.

Nevertheless, our study should be considered as preliminary for several reasons. First, sampling locations were each visited only once, such that counts of the number of House Sparrow males and measurements of electric field strength are subject to some variation and estimation error. However, it is most likely that these errors are randomly distributed among locations. We also note that a single visit during the peak of the breeding season (April – May) is considered to be adequate to locate House Sparrow breeding territories (Hustings et al., 1985;
Van Dijk, 2004). Second, because of the short study period, we ignore whether differences in bird counts reflect variation in abundance of breeding birds or in short-term behavioural responses like the tendency to sing. However, a decrease in singing intensity will result in a decrease of reproductive success and ultimately a decline of population size.
Third, only the radiation from GSM base station antennas was measured. Probably, the distribution of possible other significant electromagnetic signals will be random, but due to the lack of measurements in other frequency bands (except for UMTS), this remains an object of further study. Fourth, as with all descriptive field studies, we cannot provide evidence for a causal relationship between radiation levels and
the number of birds. Nevertheless, the fact that we found a highly similar pattern in each of the six study areas strengthens the possibility that the relationship is not a spurious one.
There are several unpublished and anecdotal reports about birds and mobile phone base
stations, but we know of only one other published study that examined the effects of
electromagnetic radiation from mobile phone base stations on wild bird populations. Balmori (2005) found a significantly lower number of White Stork (Ciconia ciconia) fledglings in nests exposed to relatively high electromagnetic radiation (2.36 ± 0.82 V/m) than in nests receiving lower levels of radiation (0.53 ± 0.82 V/m). Together with observations on aberrant behaviours of the adult birds, these results suggest that electromagnetic radiation interferes with reproduction in this wild population.

What could be the underlying mechanisms of the (putative) negative effects of radiation from GSM base stations on wild bird populations? Because all measured electric field strength values were far below what is required to produce heating as low as 0.5 °C (i.e., 10 mW/cm² or ca. 194 V/m; Bernhardt, 1992), the effects should be considered as non thermal at very low intensities.
Non thermal effects of microwaves on birds were reported already 40 years ago (Tanner,1966; Tanner et al., 1967). Most studies indicate that exposure of birds to electromagnetic fields generally changes, but not always consistently in effect or in direction, their behaviour, reproductive success, growth, development, physiology, endocrinology, and oxidative stress (Wasserman et al., 1984; Grigor’ev et al., 2003; Fernie and Reynolds, 2005). Of special relevance within the context of our research are laboratory studies that demonstrate negative effects of electromagnetic radiation from mobile phones on the development and survival of bird embryo’s(Farrel et al., 1997; Youbicier-Simo and Bastide, 1999; Grigoriew, 2003).

Bird feathers are known to act as dielectric receptors of high frequency electromagnetic fields and some experiments indicate that audiofrequency pulse-modulated high frequency fields may induce piezoelectric effects in the feathers (Bigu-del-Blanco and Romero-Sierra, 1975a, b). These results are important in view of the fundamental role that feathers play in the life of birds and in the influence of environmental factors on bird behaviour. Experiments also indicated that
microwave radiation can have the same averse effects on birds in flight as those observed in caged birds (Romero-Sierra et al., 1969).
Several bird species also use magnetic navigation (Liboff and Jenrow, 2000; Muheim et al.,2006) and can become disorientated when exposed to weak (< 1/50 of geomagnetic field strength) high frequency magnetic fields (Ritz et al., 2004; Thalau et al., 2005). The available evidence concerning magnetoreception suggests that birds use a radical pair mechanism for a chemical compass, and a mechanism based on magnetite particles (Wiltschko and Wiltschko, 2005; Mouritsen and Ritz, 2005). Magnetite is an excellent absorber of microwave radiation at frequencies between 0.5 and 10.0 GHz through the process of ferromagnetic resonance (Kirschvink, 1996), so that interaction with electromagnetic fields from mobile phone base
stations might be possible.
In an experiment with Zebra Finches (Taenopygia guttata) that were temporary (10 minutes)stimulated with a pulsed electromagnetic field similar to the signal produced by mobile phones with carrier frequency 900 MHz, significant non thermal changes in the amount of neural activity by more than half of the brain cells were detected (Beason and Semm, 2002). The effect did not appear tot be limited to magnetic sensory cells, but occurred in any part of the brain. The authors
postulate that similar neural responses to different frequencies point toward a common mechanism of low frequency modulation, perhaps at the cell membrane. Such a stimulus might mimic a natural mechanism involved in cell communication. Although the peak electric field strength used in that experiment (0.1 mW/cm² = approx. 19 V/m; Beason and Semm, 2002) was higher than the values measured in our study, results from other studies indicate that a long-term exposure at low intensities can produce the same effects as a short-term exposure at higher intensity (D’Andrea et al., 1986a, b; Lai, 2005; Belyaev, 2005a). This suggests that the non thermal effects of relatively weak electromagnetic radiation from mobile phone base stations can accumulate over time and have significant implications, as detected by several pilot epidemiological studies on humans (see Introduction).

Radiation from GSM base stations may also affect the local abundance of insects or other invertebrates and thereby indirectly influence the number of House Sparrows. Although adult House Sparrows are mainly seed-eaters, they need insects and other invertebrates to feed their young, such that it is likely that they will prefer areas with high abundance of invertebrates at the beginning of the breeding period. Several researchers have postulated that the lack of invertebrates might be an important factor in the reported decline of House Sparrow populations in urban areas (Wotton et al., 2002; Summers-Smith, 2003). Short-term exposure of pulsed mobile phone radiation with carrier frequency 900 MHz resulted in a 50-60 % decrease of the
reproductive capacity of insects (Panagopoulos et al., 2004). Similar results were also found with microwave radiation at other frequencies (Bol’shakov et al., 2001; Atli and Unlu, 2006).

The results of our study suggest that long-term exposure to low-intensity (pulsed)
electromagnetic radiation from GSM base stations may have significant effects on populations of wild birds. The exact mechanisms of these effects are as yet poorly understood. Given the potential importance that such effects may have on aspects of biodiversity and human health, more detailed studies in both the laboratory and the field are urgently needed to corroborate our results and to uncover the underpinning mechanistic relationships.

References
Abdel-Rassoul, G., Abou El-Fatech, O., Abou Salem, M., Michael, A., Farahat, F., El-
Batanouny, M., Salem, E. (2006). Neurobehavioral effects among inhabitants around mobile phone base stations. Neurotoxicology. DOI: 10.1016/j.neuro.2006.07.012.
Adey, W.R. (1981). Tissue interactions with non-ionizing electromagnetic fields. Physiol. Rev.61:435-514.

Atli, E., Unlu, H. (2006). The effects of microwave frequency electromagnetic fields on the development of Drosophila melanogaster. Int. J. Radiat. Biol. 82:435-441.
Balmori, A. (2005). Possible effects of electromagnetic fields from phone masts on a population of White Stork (Ciconia ciconia). Electromagn. Biol. Med. 24:109-119.

Beason, R.C., Semm, P. (2002). Responses of neurons to an amplitude modulated microwave stimulas. Neurosci. Lett. 333:175-178.

Belyaev, I.Y. (2005a). Non-thermal Biological Effects of Microwaves. Microwave Review 11:13-29.

Belyaev, I.Y. (2005b). Nonthermal Biological Effects of Microwaves: Current Knowledge,Further Perspective, and Urgent Needs. Electromagn. Biol. Med. 24:375-403.

Bernhardt, J.H. (1992). Non-ionizing radiation safety: radiofrequency radiation, electric and magnetic fields. Phys. Med. Biol. 37:80-84.

Bibby, C.J., Burgess, N.D., Hill, D.A., Mustoe, S.H. (2000): Bird Census Techniques. London: Academic Press.

Bigu-del-Blanco, J., Romero-Sierra, C. (1975a). The properties of bird feathers as converse piezoelectric transducers and as receptors of microwave radiation. I. Bird feathers as converse piezoelectric transducers. Biotelemetry 2:341-353.

Bigu-del-Blanco, J., Romero-Sierra, C. (1975b). The properties of bird feathers as converse piezoelectric transducers and as receptors of microwave radiation. II. Bird feathers as dielectric receptors of microwave radiation. Biotelemetry 2:354-364.

Bol’shakov, M.A., Kniazeva, I.R., Lindt, T.A., Evdokimov, E.V. (2001). Effect of low-frequency pulse-modulated 460 MHz electromagnetic irradiation on Drosophila embryos (article in Russian). Radiats. Biol. Radioecol. 41:399-402.

Bortkiewicz, A., Zmyslony, M., Szyjkowska, A., Gadzicka, E. (2004). Subjective symptoms reported by people living in the vicinity of cellular phone base stations. Med. Pr. 55:345-351.

D’Andrea, J.A., DeWitt, J.R., Emmerson, R.Y., Bailey, C., Stensaas, S., Gandhi, O.P. (1986a). Intermittent exposure of rats to 2450 MHz microwaves at 2.5 mW/cm²: behavioral and physiological effects. Bioelectromagnetics 7:315-328.

D’Andrea, J.A., DeWitt, J.R., Gandhi, O.P., Stensaas, S., Lords, J.L., Nielson, H.C. (1986b). Behavioral and physiological effects of chronic 2450 MHz microwave irradiation of the rat at 0.5 mW/cm². Bioelectromagnetics 7:45-56.

Eger, H., Hagen, K.U., Lucas, B., Vogel, P., Voit, H. (2004). Influence of the spatial proximity of mobile phone base stations on cancer rates (article in German). Umwelt-Medizin-Gesellschaft 17:273-356.

Electronic Communications Committee (2003): Measuring non-ionising electromagnetic
radiation (9 kHz – 300 GHz). Recommendation adopted by the Working Group "Frequency
Management" (FM). Electronic Communications Committee (ECC) within the European
Conference of Postal and Telecommunications Administrations (CEPT). ECC/REC/(02)04.

Farrel, J.M., Litovitz, T.L., Penafiel, M. (1997). The effect of pulsed and sinusoidal magnetic fields on the morphology of developing chick embryos. Bioelectromagnetics 18:431-438.

Fernie, K.J., Reynolds, S.J. (2005). The effects of electromagnetic fields from power lines on avian reproductive biology and physiology: a review. J. Toxicol. Environ. Health B Crit. Rev. 8:127-140.

Grigor’ev, O.A., Bicheldei, E.P., Merkulo, A.V. (2003). Anthropogenic EMF effects on the condition and function of natural ecosystems (article in Russian). Radiats. Biol. Radioecol 43:544-551.

Grigoriew, J.G. (2003). The influence of electromagnetic fields from mobile phones on chicken embryo’s (article in German). Journal für Strahlungs-Biologie 5:541-544.

Hustings, F., Kwak, R., Opdam, P., Reijnen, M. (1985): Manual bird census work: techniques. backgrounds, guidelines and reporting. Nature conservation in the Netherlands, vol. III (publication in Dutch). Zeist: Pudoc, Wageningen & Nederlandse Vereniging tot Bescherming van Vogels.

Hutter, H.P., Moshammer, H., Wallner, P., Kundi, M. (2006). Subjective symptoms, sleeping problems, and cognitive performance in subjects living near mobile phone base stations. Occup. Environ. Med. 63:307-313

Hyland, G.J. (2000). Physics and biology of mobile telephony. The Lancet 356:1833-1836.

Kirschvink, J.L. (1996). Microwave absorption by magnetite: a possible mechanism for coupling nonthermal levels of radiation to biological systems. Bioelectromagnetics 17:187-194.

Lai, H. (2005). Biological effects of radiofrequency electromagnetic field. Encyclopedia of Biomaterials and Biomedical Engineering. DOI: 10.1081/E-EBBE-120041846.

Liboff, A.R., Jenrow, K.A. (2000). New model for the avian magnetic compass.
Bioelectromagnetics 21:555-565.

Mouritsen, H., Ritz, T. (2005). Magnetoreception and its use in bird navigation. Curr. Opin. Neurobiol. 15:406-414.

Muheim, R., Moore, F.R., Phillips, J.B. (2006). Calibration of magnetic and celestial compass cues in migratory birds – a review of cue-conflict experiments. J. Exp. Biol. 209:2-17.

Navarro, E.A., Segura, J., Portolés, M., Gómez-Perretta de Mateo, C. (2003). The Microwave Syndrome: A Preliminary Study in Spain. Electromagn. Biol. Med. 22:161-169.

Panagopoulos, D.J., Karabarbounis, A., Margaritis, L.H. (2004). Effect of GSM 900-MHz mobile phone radiation on the reproductive capacity of Drosophila melanogaster. Electromagn. Biol.Med. 23:29-43.

Ritz, T., Thalau, P., Phillips, J.B., Wiltschko, R., Wiltschko, W. (2004). Resonance effects indicate radical pair mechanism for avian magnetic compass. Nature 429:177-180.

Romero-Sierra, C., Husband, C., Tanner, J.A. (1969): Effects of microwave radiation on Parakeets in flight. Ottowa: Control Systems Laboratory.

Santini, R., Santini, P., Danze, J.M., Le Ruz, P., Seigne, M. (2002). Study of the health of people living in the vicinity of mobile phone base stations: I. Influences of distance and sex. Pathol.Biol. 50:369-373.

Summers-Smith, J.D. (2003). The decline of the House Sparrow: a review. Brit. Birds 96:439-446.

Tanner, J.A. (1966). Effect of microwave radiation on birds. Nature 210:636.

Tanner, J.A., Romero-Sierra, C., Davie, S.J. (1967). Non-thermal effects of microwave radiation on birds. Nature 216:1139.

Thalau, P., Ritz, T., Stapput, K., Wiltschko, R., Wiltschko, W. (2005). Magnetic compass orientation of migratory birds in the presence of a 1.315 MHz oscillating field. Naturwissenschaften 92:86-90.

Van Dijk, A.J. (2004): Manual for the breeding-bird monitoring project (publication in Dutch).Beek-Ubbergen: SOVON Vogelonderzoek Nederland.
Wasserman, F.E., Dowd, C., Schlinger, B.A., Byman, D., Battista, S.P., Kunz, T.H. (1984). The effects of microwave radiation on avian dominance behavior. Bioelectromagnetics 5:331-339.

Wiltschko, W., Wiltschko, R. (2005). Magnetic orientation and magnetoreception in birds and other animals. J. Comp. Physiol. A Neuroethol. Sens. Neural. Behav. Physiol. 191:675-693.

Wolf, R., Wolf, D. (2004). Increased incidence of cancer near a cellphone transmitter station. Int. J. Cancer Prev. 1:123-128

Wotton, S.R., Field, R., Langston, R.H.W., Gibbons, D.W. (2002). Homes for birds: the use of houses for nesting by birds in the UK. Brit. Birds 95:586-592.

Youbicier-Simo, B.J., Bastide, M. (1999). Pathological effects induced by embryonic and postnatal exposure to EMFs radiation by cellular mobile phones. Radiat. Protect. 1:218-223.

Jumat, 31 Juli 2009

Jambi di Titik Puncak

Sabtu, Agustus 01, 2009

Sumber: Trubus Online


PEPOHONAN RIMBUN NAN ASRI MENGHIASI PUSAT KOTA JAMBI, PROVINSI JAMBI. NAMUN, ITU DULU PADA 1998. TERPAUT WAKTU 8 TAHUN, RERIMBUNAN POHON SUDAH BERUBAH MENJADI 400-500 BANGUNAN WALET. ANDAI TIAP-TIAP RUMAH WALET ITU MENGHASILKAN 2-3 KG SARANG COLLOCALIA FUCIPHAGA SETIAP PANEN, TOTAL JENDERAL PUSAT KOTA MENYUMBANG 3,2-4 TON SARANG/TAHUN.

Itulah yang disaksikan Dr Boedi Mranata, praktikus walet di Jakarta Selatan, saat berkunjung pada November 2008. Penghasil sarang walet di pusat kota Jambi terkonsentrasi di Kumpai dan Talangbajar yang mayoritas dihuni etnis Tionghoa. 'Rumah-rumah beragam ukuran dijadikan hunian walet, seperti rumah walet di Medan,' kata Boedi.

Suara cericit walet dari tweeter-pemancing walet-terdengar nyaring mulai dari Bandara Sultan Thaha. Ia mengalahkan deru kendaraan bermotor. Menjelang petang, ribuan Collocalia fuchiphaga beterbangan memenuhi langit-langit kota. Populasi walet di sini berkembang sangat cepat, karena sumber pakan tersedia sepanjang tahun dari hutan dan kebun karet. Pemilik ruko hingga saat ini terus berlomba mengubah lantai teratas ruko menjadi rumah walet. Mereka seolah bersaing dengan para investor dari Medan dan Lampung yang telah membenamkan modalnya untuk membangun rumah walet sejak 1998.

Titik puncak
Meski tergolong sentra baru, Kota Jambi yang memiliki 8 kecamatan itu sudah mengadopsi teknik budidaya walet modern. Peternak melengkapi sarana dan prasarana rumah walet, mulai dari penggunaan CD pemancing walet hingga mesin pengabut untuk menjaga kelembapan. Semuanya ditujukan untuk peningkatan produksi sarang.

Namun menurut pengamatan Boedi, produksi sarang di pusat Kota Jambi sudah mencapai titik puncak, di angka 4 ton/tahun. 'Biasanya puncak produksi berada di titik itu, sebagaimana terjadi di sentra-sentra walet di Jawa seperti di Sedayu (Jawa Timur, red) dan Pekalongan (Jawa Tengah, red), Rata-rata produksinya dahulu bisa mencapai 4 ton per tahun,' ujar Boedi.

Kondisi serupa terjadi di Kualatungkal, Kabupaten Tanjungjabung Barat, yang berjarak 125 km dari Kota Jambi. 'Di sini juga bangunan walet terlalu padat,' ujar Hary K Nugroho, praktikus walet di Jakarta Barat. Perkembangan di daerah yang bersisian laut itu sama pesatnya dengan pusat kota sejak beberapa tahun terakhir. Semua ruko dialihfungsikan untuk budidaya walet. 'Lantai atas tempat walet dan di bawahnya untuk usaha,' kata Hary.

Kualatungkal yang dekat dengan laut, menguntungkan untuk budidaya walet. Tanpa dipancing walet dengan mudah masuk ke rumah. Itu seperti yang dialami Ali Kusno pada 2001 saat membangun ruko 3 lantai seluas 12 m x 20 m. Sebelum bangunan rampung, sudah banyak walet keluar-masuk. Hasilnya, dalam waktu 3 tahun didapati 100 sarang. Hary mencatat di sana sudah berdiri sekitar 400-500 rumah walet. Produksinya diperkirakan sama seperti di pusat Kota Jambi.

Kompetisi
Berada di titik puncak populasi berarti peluang untuk menggenjot produksi atau jumlah rumah walet kian hilang. Sebab, 'Kurva produksi sarang biasanya berbentuk seperti gunung dan lembah. Setelah mencapai puncak akan stagnan dan akhirnya turun. Jumlahnya tidak akan lagi mencapai posisi puncak seperti di awal,' ungkap Boedi. Contohnya di Gresik dan Sedayu, Jawa Timur, yang kini mengalami penurunan produksi hingga tinggal 20%. Di sentra-sentra lain di Jawa juga sama. Kini produksi berkurang sekitar 50% dari semula 80 ton/tahun pada 1998.

Salah satu penyebab penurunan itu lantaran daya dukung lingkungan yang tidak seimbang dengan populasi walet. 'Kini bukan walet yang mencari rumah, tapi sebaliknya. Rumah walet di Jawa sudah terlalu banyak,' ungkap Hary. Makanya banyak ditemui rumah kosong. Hasil survei kecil-kecilan Boedi, di Kota Jambi hanya 5% dari total rumah walet yang produksinya mencapai lebih dari 10 kg/panen. 'Itu pun dari rumah-rumah lama. Selebihnya paling hanya 3-5 kg atau malah tidak terisi,' kata alumnus Biologi dari Universiteit Hamburg Jerman itu.

Semua tak lepas dari sumber pakan. Semakin besar populasi walet, kompetisi pakan semakin besar karena dari waktu ke waktu ketersediaan pakan berkurang. Untuk memperoleh pakan, walet harus terbang ke daerah lain yang lebih jauh. Padahal idealnya walet terbang mencari pakan pulang-pergi tidak lebih dari 25 km. Lebih dari itu energi untuk menghasilkan liur terkuras sehingga produksi sarang menjadi kecil.

Kondisi semakin sulit saat musim kering yang panjang tiba. Dalam sekejap produksi sarang turun drastis. Kondisi itu dapat berujung kematian pada walet-walet yang belum mampu mencari pakan ke tempat jauh. 'Dalam kondisi sulit pakan, walet remaja akan pindah ke daerah lain yang masih melimpah,' kata Lazuardi Normansyah, konsultan walet di Jakarta Barat.

Hutan Harapan
Oleh karena itu sebaiknya menurut Boedi pengembangan walet sudah waktunya diarahkan ke bagian tengah Jambi. Daerah itu dipilih karena memiliki persyaratan: dekat sentra, pakan melimpah, dan aman. Sebut saja pinggiran Kumpai alias Kumpeh yang berjarak 75 km dari pusat kota. Di sana Boedi melihat rumah walet tradisional yang masih berdinding kayu dan dilapisi styrofoam untuk menahan panas dihuni walet. Berdasarkan informasi dari penduduk setempat rumah-rumah itu sudah dihuni walet sejak 3 tahun lalu.

Lantaran berada dekat sungai, rumah-rumah itu tidak dilengkapi mesin pengabut untuk menjaga kelembapan. Toh kelembapan mencapai 70-75%, mendekati habitat ideal walet. Dengan kelembapan seperti itu sarang memang agak kecil dan tipis. Namun, hasil panen rata-rata mencapai 2-3 kg untuk setiap rumah.

Lokasi lain? Hutan Harapan. Hutan seluas 100.000 ha di Kabupaten Sarolangun berjarak 3 jam perjalanan darat dari pusat Kota Jambi itu menyediakan sumber pakan sepanjang tahun. 'Ini lokasi ideal untuk walet,' kata Boedi. Sayang, saat berkunjung ke sana menemani Pangeran Charles dari kerajaan Inggris meninjau lokasi, Boedi tidak melihat populasi walet banyak. 'Kelihatannya ada sriti,' imbuhnya.

Pemilik rumah perlu melakukan putar telur-mengganti telur sriti dengan telur walet. Jika berhasil, tidak mustahil Hutan Harapan dan pinggiran Kumpai jadi lokasi potensial pembudidayaan walet. Artinya, menjadi penyumbang devisa terbesar dari sarang walet untuk Pulau Sumatera yang kini menghasilkan 100 ton sarang/tahun atau senilai Rp1-triliun/tahun. (Lastioro Anmi Tambunan)

Rabu, 08 Juli 2009

CICURUG - SUKABUMI



This BH just 6 months ago I managed. I did minor renovation and setting up sound system in this BH. Every 2 weeks I applied aroma. Since 2 months ago from morning till evening many birds playing.
Last week I went in to Hupram's BH and found many birds already stayed and have 2 nests with chicks.

Two and half years ago, this BH managed by somebody - he always advertised in News Paper and Magazine in Indonesia - but not any single birds stay.

Senin, 29 Juni 2009

Clove and Tobacco

This evening I received call from my blog reader. He asking why beside of Aroma in mineral water bottle has Kretek Cigarettes "GG"? Are you promoting GG or your aroma sponsored by GG?
I said to him that GG is my favorite cigarettes.

Is your aroma containing tobacco smell?? Ha ha ha ha ha.... not only tobacco, I also using clove, that's why I ever told to my friend that my aroma is Herbal Aroma Therapy for Swiftlet.





He asked me "Are you kidding?". May be no may be yes...! The concept how to make swiftlet addicted and become sales promotion girls to attract their friends to come to our birds house.

"Wah.. you will make the swiftlet run away from BH" he replied to my answer. Ha ha ha ha.... run away from whose BH???? and will they stay to our BH which use your aroma? Ha ha ha!

Aroma Pemikat dalam Kabut

Aroma Pemikat dalam Kabut
Oleh trubusid_admindb


RUMAH WALET BERUKURAN 4 M X 12 M SETINGGI 2,5 LANTAI DI CIAMPEA, BOGOR, JAWA BARAT, ITU BARU BERUMUR 1 BULAN. NAMUN, KETIKA RUMAH BARU ITU DIBUKA, KOTORAN WALET BERTEBARAN MENYELIMUTI LANTAI. PUN CERICIT WALET TERDENGAR RAMAI BAK RUMAH UMUR 1 TAHUN.

Menurut Ir Lazuardi Normansah, sang pemilik, rumah itu telah dihuni sekitar 200 walet. Normalnya, rumah baru paling banter dihuni 20 walet atau bahkan hanya seriti. Hal serupa dialami Doni - nama samaran - peternak walet di Serpong, Tangerang. Tiap sore walet yang pulang dan menginap di rumahnya bertambah banyak. 'Walet-walet itu seperti membawa serta 'teman-teman' baru,' ujarnya.

Rupanya kedua peternak itu menggunakan aroma pemikat walet untuk memancing kedatangan Collocalia fuciphaga. Namun, penggunaannya lain dari biasa. Aroma itu dicampur dengan air dalam wadah tampungan mesin kabut melalui selang. Perbandingannya 2 atau 3 bagian air dan 1 bagian aroma pemikat. Lantas mesin yang biasa digunakan pekebun tanaman hias itu diletakkan di antara roofing room dan nesting room dan dioperasikan selama 3 - 5 menit.

Tiap jam 5 pagi saat walet berangkat mencari pakan dan tiap sore saat rombongan besar walet pulang, mesin kabut itu dioperasikan. Ketika walet-walet itu beterbangan melewati nesting room dan roofing room, kabut aroma pemikat menempel di bulu-bulu mereka. Esok harinya saat mencari pakan dan kembali pulang, anggota rombongan bertambah besar. Walet liar terpikat ikut rombongan pulang. 'Diduga aroma yang menempel di tubuh walet menarik walet lain (bukan penghuni, red) ikut masuk,' kata Lazuardi. Itulah yang menyebabkan populasi waletnya berkembang sangat pesat.

Walet muda
Aroma pemikat walet memang jamak digunakan peternak untuk memancing kedatangan walet di rumah-rumah walet baru. Cara dan bahan yang digunakan beragam, mulai dari yang sederhana sampai kompleks. Ada yang melaburkan telur itik ke dinding ruangan, mengoleskan air cucian sarang pada lagur, dan merendam sarang tiruan dalam ramuan pemikat komersial. Itu karena walet memang tertarik beberapa aroma tertentu. 'Aroma ikan, udang kering, dan tembakau adalah beberapa contoh yang disukai walet,' ujar Lazuardi. Sebaliknya, aroma durian dan cumi-cumi tidak disukai.

Menurut Harry KNugroho, praktikus walet di Kelapagading, Jakarta Utara, aroma pemikat walet selama ini hanya digunakan di dalam rumah walet. 'Fungsinya untuk menghilangkan bau semen sehingga burung merasa nyaman dan seolah-olah rumah walet sudah lama dihuni,' ujar Harry. Belum pernah terpikirkan aroma pemikat digunakan untuk memikat walet saat berada di udara bebas.

Hal itu juga diakui Lazuardi. 'Aroma pemikat walet memang tidak bisa berfungsi untuk memikat walet dari jarak jauh layaknya tweeter (pengeras suara, red),' ujarnya. Jika dioleskan ke lubang keluar-masuk, paling banter bisa tercium walet dari jarak 10 - 11 meter. Nah, jika aroma itu melekat di bulu-bulu walet, otomatis bisa terbawa ke jarak yang lebih jauh bersamaan walet pergi mencari pakan. Aroma pemikat disemprotkan 2 kali sehari untuk mengantisipasi jika lebih cepat menguap di udara bebas.

Kendati begitu, berdasarkan pengalaman pemilik jasa konsultasi Multi Walet itu, aroma pemikat tidak menarik perhatian walet yang sudah pernah bersarang atau bertelur di tempat lain. Sebab, burung-burung itu sudah mempunyai ikatan dengan telur atau anak-anaknya di rumah lama.

Kecuali jika di tempatnya bersarang ada gangguan yang menyebabkan walet harus mengungsi. Misalnya, sarang dipanen tidak beraturan atau terjadi kebakaran. 'Aroma pemikat hanya efektif untuk memancing walet-walet remaja yang belum mempunyai pasangan atau baru belajar terbang,' ungkap Lazuardi.

Baru
Kemampuan aroma walet memikat sasaran tergantung bahan yang digunakan. Lazuardi menggunakan ramuan baru yang telah diujinya selama 4 tahun. Bahan utamanya air hujan, liur walet, dan sejenis rumput-rumputan diramu dengan 4 bahan alami lain. 'Efeknya paling bagus jika ramuan sudah mengeluarkan gas,' ujarnya. Cirinya, jerigen tempat ramuan itu tampak menggembung, dan cairan berubah warna dari biru menjadi keabu-abuan.

Untuk aplikasi langsung dimasukkan ke mesin kabut, dan dioleskan pada lagur serta lubang keluar-masuk. Aroma pemikat itu baunya akan semakin kuat dan tahan lama jika dioleskan ke lagur yang porous seperti kayu sengon. Aroma itu bisa tahan 2 - 3 bulan di dalam ruangan dan sekitar 2 minggu di lubang keluar-masuk.

Pengolesan di lagur dan lubang keluar-masuk walet efektivitasnya tinggi. Dampak itu dirasakan Jayadi. Awalnya peternak di Jakarta itu hampir putus asa lantaran rumah walet yang baru dibeli ternyata sudah kosong selama 2 tahun. Iseng-iseng ia mengoleskan 2 jerigen ramuan pemikat walet ke sirip dan lubang keluar masuk. Rumah walet lantas digembok dan ditinggalkan begitu saja selama 4 bulan.

Ketika ditengok kembali, hasilnya membuat Jayadi kaget. Di dalam rumah 3 lantai seluas 200 m2 itu ia menjumpai 80 sarang walet. Kini setelah 8 bulan, sudah ada 255 sarang walet di rumah itu. Umumnya, burung walet baru bersarang di rumah baru setelah 5 - 8 bulan. Bahkan di rumah walet Jayadi terdahulu, setelah 2 tahun baru terdapat 50 sarang.

Meski begitu, para peternak sepakat: tidak boleh hanya mengandalkan aroma pemikat. Kondisi mikro rumah tetap harus diutamakan. Meski diolesi ramuan pemikat, jika rumah kotor dan kondisi lingkungan tidak sesuai, walet tidak akan merasa nyaman. Untuk itu Lazuardi menyarankan kelembapan rumah harus tetap dijaga di kisaran 80 - 90% dan suhu 28 - 30oC. Jika sudah begitu, impian peternak untuk mendengar cericit walet di rumah baru, bukan sekadar impian. (Tri Susanti)

GRAND OPENING CHICKEN CRUSH VILLA MELATI MAS, SERPONG

Dengan mengucap syukur kepada Tuhan, pada tanggal 17 Oktober 2019 dilakukan pemberkatan tempat usaha resto Chicken Crush yang terletak di Ru...